Chapter 12

24 5 0
                                    

"Kau kesal? Kecewa dengan apa yang ia lakukan?"

Abner bertanya sesuatu yang tak bisa kudefinisikan.

"Aku tidak tahu kesal itu seperti apa. Yang aku tahu, dia tak perlu melakukan itu."

"Kau sudah lihat bagaimana manusia bertindak? Mereka dipengaruhi oleh pikiran dan perasaannya."

Abner maju beberapa langkah lebih dekat pada kerumunan di hadapannya. Di brankar, ya nama benda itu, aku tak tahu kenapa dinamai begitu. Manusia punya selusin nama untuk benda yang sama. Mereka menyebutnya dalam ragam bahasa yang berbeda.

Terkadang aku pun tak tahu kenapa aku bisa mengetahui hal tersebut. Aku paham kata-kata yang mereka ucapkan, walau aku mendengarnya dari banyak orang yang berbeda. Dari jenis-jenis bahasa yang berbeda. Namun aku bisa mengerti semuanya. Sepertinya, itu adalah salah satu bagian yang diberikan dalam penciptaan kami. Kami akan bisa mengetahui arti dari apapun yang mereka katakan. Namun tidak dengan makna, terkadang mereka menyembunyikan arti sesungguhnya dari apa yang mereka katakan. Terkadang mereka berbeda dalam ucapan dan tindakan. Hingga aku menelaah keduanya. Ucapan dan tindakan mereka kadang tak selalu sama.

Di sekeliling brankar, ada dirinya, Theo dan sang ibu. Wajah khawatir tak lagi muncul di sana. Ia bisa tersenyum lepas, melihat ayahnya dalam kondisi yang lebih baik. Ayahnya bahkan bisa tertawa saat ini. Menceritakan kebodohannya sendiri ketika mengalami kecelakaan kerja tadi.

Dalam beberapa hari perawatan, akhirnya ayahnya diperbolehkan pulang. Untuk merayakan kepulangan sang ayah, ia sudah mengambil cuti agar bisa berada di rumah seharian.

Pagi-pagi sekali ia sudah tiba di Rumah Sakit. Mengurus administrasi dan menanda tangani surat pernyataan penanggung jawab pasien. Lalu mereka tiba di rumah dengan mobil yang ia kendarai.

Sudah ada ragam penganan. Rumah pun tampak bersih dan wangi. Sengaja ia mengatur segala-galanya untuk penyambutan ayahnya. Agar beliau merasa kerasan di rumah karena sudah berhari-hari mesti menginap di Rumah Sakit.

Setelah mereka berkumpul kembali dan menikmati kudapan sambil mengobrol. Kalita menekan ponselnya untuk menghubungi Theo. Lelaki itu semula berjanji untuk menyopirkan Kalita. Namun mendadak dibatalkannya semalam karena ada urusan mendadak. Kalita hanya ingin tahu apakah urusan Theo sudah selesai. Namun ponsel Theo tak bisa dihubungi, dan pesan yang dikirimkannya bahkan tak kunjung diterima.

Kalita menunggu hingga siang dan Theo masih tak bisa dihubungi juga. Berkali-kali sudah ia mengirim pesan dan hasilnya masih sama. Ia yang biasanya hanya memeriksa ponselnya sesekali, kini nyaris menengok gawai tersebut setiap menit.

Tidak ada pesan balasan, tidak ada panggilan masuk, bahkan tidak ada jejak tentang Theo yang bisa ia cari. Semua media sosial milik lelaki itu juga belum diperbarui. Atau, memang tak pernah diperbarui? Kalita melihat jarang sekali ada unggahan di sana. Seolah jagat maya bukanlah dunianya.

Menjelang sore, Kalita mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Theo. Mungkin ia sedang dalam kesulitan? Atau tertimpa musibah? Atau ia sakit? Segala kemungkinan bisa terjadi.

Dengan perasaan cemas, ia menghubungi ekstensi departemen tempat Theo bekerja. Mereka menjawab bahwa Theo tidak masuk hari ini.

"Kenapa? Sakit, ada urusan, atau kenapa?" tanya Kalita di telepon.

Tidak ada alasan. Hanya itu jawaban si penjawab telepon. Theo hanya tidak bisa masuk hari ini. Itu saja yang dikatakannya. Dan hal itu membuat Kalita semakin tak tenang.

* * *

Ia nyaris tak bisa tidur semalaman.

Ia rebah dengan gelisah. Memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Pastilah ia memikirkan lelaki itu. Berkali-kali sudah ia memeriksa ponselnya. Persis seperti yang dilakukannya seharian.

Aku yang sejak tadi hanya mengamatinya dari sudut ruangan. Kini menghampirinya. Duduk di tepian tempat tidur, mengawati raut wajahnya yang tak kunjung tenang.

Bisa saja kuhembuskan angin yang sejuk. Alam bisa membantuku. Kami dapat melakukannya. Atau senandung yang menenangkan. Yang masuk ke dalam hatinya yang resah. Namun semakin kuperhatikan lekat wajahnya, semakin aku melihat kegundahan itu kian memuncak. Serumit itukah perasaan manusia?

Malam terus turun. Hening semakin memenuhi seluruh kamarnya. Dan aku mundur perlahan-lahan. Membiarkan lelah menjadikannya jatuh dalam tidur karena keterpaksaan. Karena setiap kali aku menengok ke arahnya, tak kutemukan kedamaian di wajah yang biasa selalu kutemukan dalam lelapnya.

* * *

Mereka bilang aku bisa membantunya. Hal yang paling sederhana adalah mengucapkan doa-doa kepadanya. Dan itu sudah kulakukan. Kuupayakan agar perasaannya jauh lebih tenang. Namun kulihat, tetap saja ia gelisah.

Atau sebuah isyarat yang nyata. Para malaikat bisa memberikan tanda atau membisikkan sebuah isyarat. Seperti petunjuk yang menggiring ia untuk menemukan jawabannya.

"Kau tahu kan lelaki itu ada dimana?" tanya seorang malaikat padaku.

"Kita semua tahu dimana lelaki itu berada. Kita tahu apa yang sudah dilakukannya. Namun ia tidak. Ia berusaha mencari tahu."

"Bagaimana dengan sebuah petunjuk?" tanya seorang malaikat lainnya.

Aku melihat dari atas sini. Pada tidurnya yang diliputi mimpi dan tanya. Lembaran-lembaran awan serupa kapas bertebaran di sekujur langit.

"Kau bisa menampakkan dirimu lagi. Beritahu perempuan itu yang sebenarnya, jikalau petunjuk terlalu sulit untuk dipahami."

"Dia akan menganggapku hantu jika muncul tiba-tiba."

"Kenapa tidak minta izin kepada-Nya? Tuhan Maha Pemurah. Dia mengerti alasanmu melakukan itu. Datanglah kepadanya dan katakan kebenaran tentang lelaki itu untuk melindunginya. Tentu, hanya dengan izin-Nya kau bisa melakukan itu." Usulan itu datang dari yang lainnya.

"Haruskah?" tanyaku.

"Kau bertanya seolah kami adalah malaikat pelindungmu, Gasparo. Kau yang paling tahu tentang dirinya, dan kau juga yang tahu cara apa yang mesti dilakukan."

Aku terdiam dari atas langit sini. Untuk kali pertama dalam hidupku yang panjang, aku mesti membuat pilihan untuk diriku.

* * *

"Kita tidak bisa memilih Gasparo. Kita hanya punya kewajiban untuk dijalankan." Abner tak akan sependapat dengan malaikat-malaikat lainnya.

"Tapi aku harus menjaganya."

"Apakah itu pilihan Tuhan untuk kita?"

Aku terdiam. Abner benar, kini aku mulai bertingkah seperti manusia. Aku memikirkan tindakanku. Aku memikirkan apa yang harus kulakukan. Seolah aku punya seribu pilihan yang diciptakan oleh akal dan hasrat.

"Jika yang kulakukan ternyata adalah pilihan Tuhan untuk kehidupan Kalita?"

Abner mengangkat wajahnya ke langit. Kami sedang berada di halaman rumah Kalita sekarang. Menunggu pagi datang. Menunggu ia terjaga dari tidurnya segera.

"Dia Maha Pemberi Petunjuk. Dia Maha Tahu. Kita yang tidak tahu Gasparo. Mungkin saja selama ini kita kurang melihat apa yang Dia tunjukkan. Kita kurang mendengar apa yang telah Dia katakan." Abner tak menolak namun juga tak menerima. Kami hanya bisa menjalankan perintah, dan yang kami tahu itu adalah sebenar-benarnya cara yang Tuhan berikan kepada kami.

Sayapku merentang lebar. Mengepak perlahan hingga kedua kakiku terangkat perlahan-lahan dari bumi. Abner menatapiku yang terbang meninggi.

"Kau baru saja turun dari langit. Hendak kemana kau sekarang?"

"Aku akan meminta kepada-Nya. Kita tak akan tahu sampai Tuhan menentukan apa yang akan terjadi pada kita, Abner. Dan apa yang akan terjadi pada gadis itu," ujarku.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang