25

12.3K 1.4K 108
                                    

Andin tengah berdiri di pembatas depan kelasnya di lantai dua. Meski jam pulang sekolah telah lewat sepuluh menit yang lalu, ia harus tertahan di sekolah lebih lama karena hujan turun dengan begitu derasnya.

Matanya menatap lurus ke sisi lapangan, memperlihatkan dua manusia yang sedang bercengkrama dengan sangat akrab. Andin menaikkan satu sudut bibirnya, membentuk senyuman menyeringai. Kepalanya menunduk lalu mendengus geli.

Ya ya ya.. hidup terlalu monoton kalau selalu terjadi sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tetapi meski memahami hal itu, tetap saja Andin masih tidak habis pikir.

Andin mendongakkan kepalanya kembali, memastikan pemandangan itu masih berlanjut. Dan yeah.. ternyata masih terlihat seperti sebelumnya. Tetapi tampaknya suasananya telah berubah. Ekspresi tawa yang menguar di antara mereka telah meluap digantikan wajah-wajah serius. Andin lagi-lagi menaikkan sudut bibirnya.

Pengamatannya sedikit terganggu karena sebuah jaket berukuran besar yang mampir ke sepanjang pundaknya. Tak hanya sampai di situ, sebuah tangan yang lebih besar darinya, datang menangkup kedua tangannya sekaligus. Mendatangkan rasa hangat sampai ke relung hatinya.

Tak perlu repot-repot menoleh, karena dari wanginya saja, ia sudah tahu. Tetapi karena ia tak ingin titik fokusnya sejak tadi ketahuan, Andin mau tak mau menolehkan kepala dilengkapi senyuman manis berlesung pipinya.

Angga.

"Kenapa belum pulang?"

Andin mengerjapkan matanya dua kali, "Hujan, kan?"

Angga mendengus geli. Sepertinya ia salah memilih pertanyaan.

"Tadi pagi berangkat sama siapa?"

"Dianter sama Abang," Andin menghela nafas lelah, "Ini kenapa hujannya awet banget dari pagi, sih!"

Angga menyentil kening Andin pelan, "Huss.. gak boleh ngomong gitu."

Andin hanya nyengir saja.

"Dari tadi gue perhatiin, lo bengong sendirian di sini. Mikirin apaan?"

Seketika Andin gelagapan, "Ha? Enggak, kok."

"Ck! Lo gak lagi mikirin tentang ucapan Karin kemaren, kan?"

Andin menyeringai diam-diam, "Emang kenapa?"

Angga terdiam sejenak, "Lo gak berniat mutusin gue kan, Ndin?"

Andin tersenyum geli, "Lo mau gue putusin?"

"Ya enggaklah!" seru Angga tak terima.

Andin mencebikkan bibirnya, "Biasa aja kali Pak Angga anaknya Bapak Bima, gak usah ngegas gitu jawabnya."

Angga mengusak rambut Andin dengan gemas, "Iya, iya Bu Andin anaknya Bapak Mahesa."

Dari sudut matanya, Andin dapat melihat kalau kedua orang yang berada di sisi lapangan itu tengah menatap ke arahnya. Andin mengulum senyum sembari menatap Angga yang sedang menatapnya juga.

"Kenapa, lo? Wajah lo kayak nahan boker tahu, gak?" tanya Angga dengan santai.

Ini kesempatan. Andin mengangkat tangannya ke arah pipi Angga lalu mendorongnya ke sisi wajahnya yang lain, seolah-olah sedang menamparnya. "Mulus amat tuh mulut ngomongnya, Ngga!"

Angga tak menggubris ucapan gadisnya. Tangannya bergerak untuk membenarkan letak jaketnya di pundak Andin yang sedikit melorot, tetapi gadis itu malah memundurkan badannya.

"Kenapa, sih?" tanya Angga bingung.

"Kalo kita jauhan beberapa hari, lo keberatan gak, Ngga?" tanya Andin ragu-ragu.

Andin : Ketua OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang