Andin tiba di rumah selepas dari bermain bersama mantan pengurus OSIS sekitar pukul sembilan malam. Ia pulang diantar oleh Arif yang tadi sore sengaja datang menjemputnya di rumah. Karena malam semakin larut, Arif hanya mengantar Andin sampai teras, tidak ikut masuk ke dalam untuk berpamitan. Apalagi jarak ke rumahnya yang jauh karena berlawanan arah. Selain itu, keberadaan motor yang sangat dikenalnya, membuat Arif enggan berlama-lama.
Andin yang turut menyadari keberadaan motor tersebut, seketika menghela nafas panjang. Ia tidak langsung beranjak, berdiri diam di pinggir jalan depan rumahnya. Mengeratkan jaket kepunyaan Arif yang ia kenakan. Hatinya mencelus, teringat pesan yang sering ia dapatkan untuk selalu membawa jaket ketika keluar malam hari.
Angga, sang pemilik motor tersebut sudah berdiri dari duduknya kala mendapati Andin turun dari boncengan motor Arif. Kakinya bergerak gelisah. Tatapan matanya redup dan telapak tangannya berkeringat. Ia kebingungan. Dalam keadaan biasanya, ia pasti langsung bergerak menghampiri mereka berdua, tetapi kini situasi telah berbeda. Pemuda itu berdiri gelisah dan semakin gugup kala melihat Andin mulai melangkah ke arahnya----- pintu rumahnya, Angga tidak ingin membesarkan hatinya.
"Andin ..." panggilnya. Pemuda itu tidak jadi meneruskan kalimatnya. Lidahnya kelu ketika menyadari sosok gadis yang begitu ia rindukan tengah mengenakan jaket orang lain. Ya ampun, hati Angga nyeri sekali sekarang. Mulutnya terbuka-terkatup saking bingungnya hendak mengucapkan kalimat seperti apa.
"Lo ngapain di sini?" Andin mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah. Matanya tidak sengaja menangkap keberadaan cangkir yang berada di atas meja teras. Kopi dari kedua cangkir tersebut telah tandas, membuktikan bahwa sosok di depannya telah lama menunggu. Andin kembali menatap mata Angga, namun tidak bertahan begitu lama. Ia tidak kuat, tidak sanggup menanggung pancaran sendu dari pemuda itu.
"Aku ... aku," katanya tergagap. Angga menundukkan kepala. Pemuda itu terlalu tidak suka mendapati Andin mengenakan pakaian laki-laki lain selainnya.
"Ngomong yang bener." Andin kembali mengeratkan jaket kala udara semakin dingin. "Cepet!"
Melihat Angga yang hanya bergeming membuat Andin melanjutkan langkahnya ke arah pintu masuk rumahnya. Baru saja ingin memutar gagang pintu, suara Angga kembali terdengar.
"Aku gak suka liat kamu begitu." Angga dengan mantap mengatakannya. "Gak suka liat kamu ngomong lo-gue. Gak suka------"
Andin berdecak. Tatapan matanya berganti kesal. "Lo ngomong apasih?"
"Aku gak suka liat kamu pake jaket cowok lain," lirih Angga. Matanya memerah, melihat sikap Andin yang begitu tega kepadanya.
"Ngatur!" dengus Andin. Hal itu membuat hati Angga kembali mencelus. Tangannya sedikit bergetar. "Mau ngomong apa sebenernya?" tanya Andin lagi.
"Aku kangen." Angga berujar dengan nada lirih, membuat Andin tak begitu mendengar dengan jelas. Gadis itu mengerutkan kening, menanyai Angga lagi. "Ngomong apa?"
Tanya itu hanya dibalas sunyi. Angga tak mengucapkan kata apapun lagi, hanya menatapnya penuh harap. Nafas pemuda itu mulai memburu, berkejaran karena menahan sesak di hati. Kenapa waktu membawanya pada situasi seperti ini? Angga tidak suka.
Andin yang dibuat menunggu lama akhirnya benar-benar masuk ke dalam rumah. Tetapi ia tidak langsung beranjak. Gadis itu masih berdiri di dekat pintu, mengintip dari jendela ketika Angga tiba-tiba berjongkok dan menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. Pundaknya bergetar, telinga dan lehernya merah. Andin menggigit bibirnya dengan gusar. Berjalan mondar-mandir karena kebingungan untuk keluar lagi atau kembali melanjutkan langkahnya ke dalam kamar.
Jemarinya menempel pada kaca. Mengusapnya lembut karena kaca tersebut sejajar dengan keberadaan Angga yang sudah berdiri membelakanginya. Ia ingin sekali keluar, tetapi hatinya masih tidak terima. Ia belum siap memaafkan Angga. "Pulang, Ngga. Udah malem, nanti kamu sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Andin : Ketua OSIS
Fiksi RemajaAngga Bagaskara mendapatkan Andin Mahesa sebagai pacarnya melalui permainan truth or dare yang ia mainkan bersama teman-temannya. Meski awalnya ia tidak memiliki rasa sedikit pun pada gadis itu, tetapi pada akhirnya Angga takut Andin kecewa padanya...