Hampir seluruh anak kelas Xl IPS 1 memenuhi salah satu kafe di dekat sekolah. Mereka berbondong-bondong untuk merayakan tim basket kelasnya karena telah berhasil menyabet juara satu. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan berpatungan untuk menyewa lantai dua sekaligus mentraktir para anggota tim basket. Perayaan kemenangan itu berlangsung sampai jam empat sore. Satu persatu dari mereka memilih pulang ke rumah masing-masing.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore, tetapi Angga dan ketiga teman curutnya masih bertahan di kafe.
"Andin tadi gak nonton, ya, Ngga?"
Angga menggeleng mendengar pertanyaan dari Zaki.
"Iya, ya. Tadi yang sambutan juga bukan dia," sahut Rio.
"Emang dia kemana, Ngga?" tanya Zaki lagi.
"Tau." Angga mengendikkan bahunya acuh.
"Emang gak ngabarin lo seharian ini?" tanya Aldi ikut merasa penasaran. Ia memang sudah menduga bahwa gadis itu tidak bisa menonton pertandingan final mereka. Tetapi paling tidak, memberi kabar tidak akan menyita banyak waktu.
Angga mendadak lesu, "Lupa kali sama gue."
Zaki tertawa melihat keloyoan teman curutnya itu, "Udah bucin, lo?" tanyanya dengan intonasi mengejek.
Angga mendelik mendengar pertanyaan Zaki. Bucin? Yang benar saja.
"Gue rasa, lo emang udah ngelibatin perasaan lo, deh, Ngga," tukas Aldi sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Halaah, udah keliatan, kok. Kalo enggak, nggak mungkin bisa bertahan selama ini."
"Gue sependapat sama Rio," sahut Aldi kalem.
"Ya mana gue tahu kalo Andin galaknya pas ngurusin OSIS doang."
"Yakin cuma karena itu lo takluk?" tanya Rio dengan tatapan menyelidik. Sengaja, ingin mengetahui seberapa jauh tingkat kebucinan seorang Angga.
"Andin itu.. gak manja. Dia gak rewel minta antar jemput ke sana ke sini. Gak nyusain gue. Gak morotin gue dengan ngerayu beli ini itu. Gak maksa gue buat kencan, malah gue yang selalu ngajak dia jalan duluan. Kalo soal ngambek gue rasa--"
"Stop stop! Udah cukup, kuping gue udah panas banget denger kebucinan lo." Zaki mengangkat salah satu tangannya, sengaja memotong ucapan Angga. Karena ia yakin sekali akan seberapa panjang kalimat itu.
"Terus gimana kalo Andin nanti tahu?" tanya Aldi.
"Tahu apa?"
"Tahu kalo dia jadi pacar lo karena jadi bahan taruhan," ujar Rio mengerti makna dari pertanyaan Aldi.
Angga mendadak terdiam.
"Tapi lo sayang kan sama dia?"
"Ya sayang, lah."
"Terus nanti gimana?" tanya Rio lagi.
"Hah.. gue gak bisa bayangin. Cuma gue minta sama lo bertiga, jangan ada yang buka mulut sama Andin. Kalaupun dia berhak tahu, gue yang bakal ngomong sendiri. Tapi nanti, bukan sekarang," ucap Angga dengan sorot mata sendu.
Kalau terjerat dengan pesona seorang Andin akan semudah ini, Angga tidak akan berpikiran untuk memakai cara laknat dengan menjadikan gadis itu sebagai bahan taruhan. Tetapi ia juga tak yakin kalau dalam keadaan normal, ia bisa sedekat itu dengan Andin. Selain itu, Angga juga meyakini bahwa perasaannya terhadap Andin memang benar adanya. Baru persoalan Andin yang tidak menontonnya bertanding saja sudah membuatnya uring-uringan. Jauh di lubuk hatinya, Angga berharap Andin ada di sini. Ikut merayakan kemenangannya.
Angga menghela nafas lelah. Ingatan tentang Andin yang belum sama sekali menemuinya, atau bahkan sekedar membalas pesannya sejak tiga jam yang lalu, membuat Angga hanya bisa mendesah pasrah. Jujur saja, saat ini ia sangat kesal dengan gadis itu. Apalagi ketika otaknya memutar kembali ingatan saat Andin dan Arif sedang berduaan di koridor sekolah. Dengan senyum yang menghiasi bibir keduanya.
"Gue balik dulu, deh," ujar Angga sambil mengambil jaket dan tas ranselnya. Setelah ber-tos riya dengan ketiga curut lainnya, Angga melangkahkan kakinya ke parkiran seorang diri.
Baru akan menyalakan mesin motornya, ponsel yang ada di saku jaketnya berdering. Sebuah pesan masuk dari orang yang sudah ia tunggu-tunggu.
Andin
Mau mampir ke rumah sebentar?Angga ingin sekali meninggikan gengsinya dengan cara mengabaikan Andin. Setidaknya untuk hari ini saja. Tetapi hatinya menolak ide gila itu mentah-mentah. Terbiasa bertemu tatap dengan gadis itu, atau selalu bertukar pesan dengannya membuat Angga merasa ada yang hilang dari dirinya. Maka dari itu, tanpa membalas pesan itu, Angga membawa motornya melaju ke rumah gadis itu.
Sesampainya di sana, Angga malah mendapati tatapan heran dari gadis di depannya itu.
"Lo belum balik ke rumah, ya?"
Angga menggeleng lalu duduk di salah satu kursi di teras rumah Andin.
"Abis dari mana?"
"Dari kafe," jawab Angga singkat.
Andin menghela nafas pelan, "Gue minta maaf, ya, gak bisa nonton lo di final. Padahal gue udah janji."
"Bagus kalo lo nyadar."
"Marah?" tanya Andin pelan.
"Menurut lo aja gimana," ujar Angga masih tidak menatap wajah Andin.
Andin menyorot Angga dengan tatapan sendu, "Gue minta maaf. Seharian gue sibuk ngurusin--"
"Jalan berduaan sama Arif ke luar sekolah?" potong Angga cepat.
Andin mengusap lengan Angga lembut, "Mau denger penjelasan gue dulu?"
Angga yang sudah menatap Andin akhirnya menganggukkan kepala setelah melihat sekilas sorot ketulusan dalam manik mata Andin.
"Dari pagi emang gue udah sibuk ngurusin ini itu. Banyak anak OSIS maupun panitia yang enggak hadir, jadi mau nggak mau gue harus turun tangan. Jadi itu sebabnya gue gak bisa nonton lo tanding. Dan soal gue keluar sekolah berdua sama Arif itu karena piala buat olahraga takrow belom diambil. Kan gak lucu kalau yang lain dapet piala, mereka enggak. Itu sebabnya gue gak sambutan dan mereka mendapatkan piala diakhir acara. Karena gue sama Arif baru nyampe sekolah. Setelah acara selesai, gue masih harus mengkoordinir buat bersih-bersih sekolah dulu, abis itu baru ngadain evaluasi kegiatan. Jadi gak sempet nyamperin lo buat ngucapin selamat," pungkas Andin sambil menyengir lucu, berharap dapat membuat Angga luluh.
"Tapi lo bisa kan ngabarin gue?" tanya Angga masih menuntut pembenaran dari sikapnya.
"Ya iya sih, cuma pikiran gue udah ruwet duluan. Jadi seharian gak ngecek HP," jelas Andin mengakhiri alasannya mengabaikan kekasihnya seharian.
Angga menunduk, merenungkan sifatnya yang kekanak-kanakan. Seharusnya ia tahu dan mau mengerti bahwa Andin memang sesibuk itu. Dan Andin juga, sosok gadis yang sadar akan tanggung jawabnya. Maka Angga juga seharusnya bangga akan fakta itu.
"Mau peluk?" tanya Andin yang sudah berdiri di hadapan Angga.
Angga mendongak dan terdiam sesaat sebelum berdiri dan memeluk Andin erat. Menumpahkan kerinduan akan kehadiran sosok gadis dalam dekapannya.
"Hadiah gue mana?" tanya Angga disela-sela dekapannya.
Kepala Andin yang semula berada di lingkup dada Angga mendongak, lalu perlahan memajukan wajahnya, mencium pipi Angga singkat.
"Tuh." Andin kembali menyembunyikan wajahnya di dada bidang Angga untuk menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Angga mendengus geli. Kalau dipikir-pikir, mudah sekali ia diluluhkan.
"Gue sayang sama lo."
Andin mengeratkan pelukan, "Gue tahu."
"Sialan!" umpat Angga pelan.
Setelahnya mereka berdua tertawa tanpa menyadari bahwa sejak tadi Aditya Mahesa sudah geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua remaja itu.
"Dasar bocah," gumamnya pelan, lalu masuk kembali ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andin : Ketua OSIS
Teen FictionAngga Bagaskara mendapatkan Andin Mahesa sebagai pacarnya melalui permainan truth or dare yang ia mainkan bersama teman-temannya. Meski awalnya ia tidak memiliki rasa sedikit pun pada gadis itu, tetapi pada akhirnya Angga takut Andin kecewa padanya...