15

13.4K 1.5K 10
                                    

Angga duduk termenung di sofa ruang tamu rumahnya. Tepat hari ini ia akan segera merealisasikan niatnya untuk mendamaikan kedua orang tuanya. Ia lebih memilih menunggu mereka di ruang tamu alih-alih masuk ke kamarnya.

Ia melirik jam dinding yang tergantung di samping foto dirinya kala masih kanak-kanak. Tanpa sadar pandangannya terpaku pada sosok dirinya yang tampak begitu kecil. Memakai kaos berwarna biru, menuntun sebuah sepeda dan tersenyum menghadap kamera. Terlihat polos dan begitu menggemaskan. Dan sekarang, ia sudah menjelma menjadi seorang remaja yang bahkan sudah mempunyai pacar. Angga tiba-tiba terkekeh pelan. Lihatlah, bagaimana waktu sangat cepat berlalu.

Tak ingin semakin terlarut dalam kenangan-kenangan masa lalunya, Angga kembali memastikan arah jarum jam di jam dinding itu. Biasanya papa dan mamanya akan pulang sebentar lagi, tepat jam sepuluh malam. Ia akan mencoba mengikuti saran Andin untuk mengobrol bersama yang sebenarnya sudah lama tidak dilakukkan oleh para penghuni rumah ini. Angga sadar bahwa selama ini, rumah besar dan megah ini hanya sebagai persinggahan untuk tidur. Tidak ada kehangatan yang ikut mewarnai kehidupan di dalam rumah selayaknya 'keluarga'.

Sebuah suara mobil tampak memasuki pagar rumahnya. Dari bunyi suaranya saja Angga tahu bahwa itu adalah mobil papanya. Ia segera mematikan ponsel yang sejak tadi menemaninya membunuh kebosanan lalu menegakkan badannya, menyambut kedatangan papanya.

Pintu terbuka dan benar saja, Bima muncul dengan wajah lelahnya. Melihat Angga duduk sendirian di ruang tamu sembari menatapnya, senyum hangatnya terbit seiring terkikisnya jarak antara mereka.

"Kamu di rumah, Son?"

Angga tersenyum lalu mengangguk. Pertanyaan itu hanya menjadi sebuah kebiasaan bagi keluarganya. Bukan hanya kedua orang tuanya, ia juga sadar bahwa selama ini dirinya juga sibuk dengan dunianya sendiri. Ia lebih sering nongkrong sampai larut malam atau menginap di rumah ketiga curutnya secara bergantian.

Saat Bima melangkah menjauh ke kamarnya, Angga langsung tersadar dari lamunannya. "Papa, boleh kita ngobrol sebentar?"

Bima berhenti dan membalikkan badannya menghadap sang putra. Keningnya mengernyit heran. "Jadi sejak tadi kamu menunggu, Papa?"

"Ya, dan.. mama juga," ujar Angga pelan lalu menundukkan kepala. Angga menahan nafasnya sesaat, bersiap menerima penolakkan dari papanya.

"Oke. Papa mandi dulu, ya," jawab Bima akhirnya. Ia merasa bersalah saat melihat Angga yang seakan tak bersemangat sama sekali, tampak putus asa. Apalagi ingatan akan dirinya yang sempat mendaratkan tamparan tempo lalu, membuat rasa bersalah terasa tumpuk-menumpuk di hatinya.

"Angga tunggu di ruang keluarga ya, Pa."

Setelah Bima memasuki kamar, Angga kembali duduk menunggu kepulangan mamanya. Tak berselang lama, suara mobil kembali terdengar. Angga sangat yakin itu adalah mobil mamanya.

Bela masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai dan wajahnya yang lusuh. Langkahnya terhenti saat melihat Angga duduk sendirian di ruang tamu sambil menatapnya.

"Son?" panggilnya sambil berjalan mendekat. Jarang sekali jam segini anaknya sudah di rumah.

Angga tersenyum lalu memeluk mamanya. "Iya, ini Angga."

"Ngapain sendirian di sini?" tanyanya setelah pelukan terurai.

"Angga pengen ngobrol sama Mama. Kalo Mama mau istirahat dulu gak papa. Angga tunggu di ruang keluarga, ya?" tanya Angga hati-hati.

Bela menghela nafas pelan. Ia tidak mungkin menolak permintaan sederhana putranya saat hanya sedikit waktu yang bisa ia sisihkan untuknya.

"Mama mandi dulu deh," jawabnya sambil mengelus kepala putranya.

Andin : Ketua OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang