11. Pelukan

780 108 3
                                    

Happy reading ❤️

*bacanya boleh sambil dengerin musik, part ini banyak narasinya. Semoga gak bosan yaa🎍

Setetes air mata jatuh dipipi tirus milik Alena, segera ia hapus kasar menggunakan punggung tangannya tapi, itu sia sia karena air mata itu kembali mengalir dan semakin deras, ia memukul dadanya yang begitu sesak agar tidak mengeluarkan isakkan. Nyatanya pembullyan yang dilakukan teman sekelasnya lebih menyakitkan daripada pusing yang terus menggangunya setiap saat.

Ia mendongakkan kepalanya menatap keramaian kota yang semakin redup, malam ini ia menghabiskan waktunya ke taman kota supaya bisa menangis sepuasnya. Ia benar benar merasa rapuh sekarang.

Ia menangis lagi, kala mengingat perilaku teman sekelasnya. Kenapa semua tega? Kenapa Alena sendiri yang tidak dianggap? Kenapa ia selalu dijauhi? Pertanyaan itu terus memenuhi pikirannya.

Alena menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, tidak sanggup melihat kejamnya dunia. Ia mengusap mata sembabnya pelan, lalu berniat pulang karena sudah larut.

Bruk...

"Awh ..." Alena meringis sambil mendongakkan kepalanya, ingin tahu siapa yang menubruknya.

Alena melebarkan matanya saat tahu orang yang menubruknya, sedikit terkejut karena akhir akhir ini dia tidak terlihat mengganggu Alena.

"Jalan pakai mata, dong!" seru Alena kesal

Yang dimarahi hanya diam, tidak meledek seperti biasanya. Lamat Lamat Alena melihat mata sembab milik orang itu, wajahnya terlihat sedikit kacau.

Deg...

Alena terkejut saat orang itu memeluknya sangat erat, dan kemudian menangis. Rasanya Alena ingin tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang yang biasa meledeknya itu menangis, tapi ia urungkan saat tangisannya mulai keras.

"Gak papa Ar," ucap Alena menenangkan walau tidak tahu apa masalahnya

Orang itu adalah Ardi, entahlah Alena tidak tahu kenapa dia bisa menangis, tapi yang dapat Alena rasakan sekarang badan Ardi terguncang hebat, mungkin ada sesuatu yang membuatnya merasa shock. Sampai ia terjungkal ke belakang, untung saja dibelakangnya terdapat kursi.

Alena mengelus pelan punggung Ardi dengan pelan, sesekali mengeratkan pelukannya. Ia malah ikut menangis merasa sedih.

"Nggak mau cerita?" tanya Alena masih setia mengelus punggungnya

Ardi sudah meredakan tangisannya, hanya terdengar isakkan kecil tapi ia masih diam tidak mau bicara. Posisi mereka saat ini seperti kakak yang memangku adiknya. Adik? Hah? Alena saja tadi hampir tertawa, sungguh tidak pas karena tubuh Ardi yang menjulang tinggi, harusnya Alena yang dipangku.

"Gak papa kok, Ar. Semua orang pasti punya masalah, merasa sedih, merasa kehilangan, merasa sendirian. Itu wajar kok," Alena menjedanya sebentar

"Jangan gengsi kalau mau nangis, nagis aja gak papa keluarin semua emosi yang kamu pendam, menangis gak berarti kamu lemah kok," Alena mengelus pelan rambut ikal milik Ardi dengan penuh sayang, entah ada perasaan apa, tapi ia mengangap Ardi ini seperti adiknya.

Ardi yang sadar akan posisinya pun mendongakkan kepalanya, lalu berpindah tempat, di sebelah Alena. Ia masih belum berbicara mungkin saja merasa canggung.

Alena mengusap punggung Ardi pelan. "Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu ngelakuin hal yang fatal, Ar."

"Apaan, sih, Lo!" desis Ardi menepis tangan Alena

Repui (SELESAI)☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang