"Oh ... ini yang namanya lompong?" Ralind mengangkat batang hijau yang kedua ujungnya sudah dipotong. Jari telunjuknya menyentuh ujung yang sedikit bergetah.
Jaya mengangguk. "Kakak baru tahu ini? Atau udah pernah lihat sebelumnya?" Dia meletakkan bumbu-bumbu yang sudah dikupas di meja dapur di hadapan Ralind.
"Udah pernah lihat, sih. Tapi baru sekali ini mengamati dari dekat. Ternyata teksturnya mirip banget sama pelepah pisang, ya." Mata cokelat Ralind masih sibuk mengamati ujung batang lompong.
Jaya tersenyum. "Ya, benar. Kakak tahu nggak kalau pisang itu sebenarnya nggak punya pohon?"
Ralind mengangguk menanggapi pertanyaan itu. "Iya, tahu. Pisang termasuk tanaman umbi yang paling besar, karena pelepahnya punya susunan tekstur sama seperti batang umbi. Tapi pisang buahnya di atas, bukan di akar." Dia kemudian meletakkan kembali batang lompong ke atas meja, lalu menatap Jaya sambil tersenyum. "Seharusnya disebut umbi pisang, ya, bukan pohon pisang."
Jaya balas tersenyum. "Bener. Tapi masyarakat kita udah terlanjur salah kaprah nyebutnya, pohon pisang."
Ralind mendengkus. "Iya juga."
Jaya masih menyunggingkan senyuman. Mata hitamnya menatap lekat pada manik kecokelatan Ralind. "Aku ... suka," ucapnya pelan.
"Hah?" Ralind tidak mendengar ucapan Jaya yang serupa desauan angin.
Jaya menggeleng, lalu mengalihkan tatapannya pada batang lompong. "Aku dulu suka bikin mainan dari pelepah pisang." Ia meneruskan kalimatnya yang tadi sempat terhenti. Atau dialihkan?
"Oya?" Ralind menanggapi antusias. "Wah, seru, dong. Mainan apa aja? Mobil-mobilan?"
"Banyak." Jaya tersenyum lagi. Tatapannya menerawang jauh. "Dulu, Ibu nggak punya uang buat beliin aku mainan di toko. Setiap kali aku merengek minta dibelikan mainan seperti punya temen-temen, Ibu membujuk agar aku mau dibuatkan mainan dari pelepah pisang. Beliau bisa membuat pistol, mobil, atau perahu dari pelepah pisang. Dan aku akan menerima hasil karya itu dengan sangat senang. Walaupun akhirnya tetap di-bully juga sama temen-temen, karena mainanku jelek sendiri, nggak sebagus punya mereka."
Jaya pikir Ralind akan memberinya tatapan prihatin. Tapi ternyata gadis itu malah sedang menatapnya kagum.
"Eh, keren loh mainan dari pelepah pisang. Nggak semua orang bisa bikin." Begitu reaksinya.
Jaya terpana. Reaksi Ralind tidak seperti kebanyakan orang yang selalu mengasihaninya. Reaksi itu sungguh menyenangkan hati.
"Tante Maya kreatif juga ya bisa bikin mainan dari pelepah pisang." Ralind menunduk pada batang-batang lompong yang sudah dicuci bersih oleh Jaya.
"Ibu dulu juga pernah buka pesanan kerajinan tangan dari pelepah pisang, sempat dijual di galeri cafenya om Tony. Banyak pengunjung yang suka dan beli kerajinan tangan itu sebagai oleh-oleh. Tapi karena ada masalah dengan Om Tony, Ibu berhenti." Jaya bercerita.
Ralind mendengarkan dengan seksama, kemudian dahinya berkerut. "Ada masalah apa?"
Jaya mengedikkan bahu. "Aku kurang tahu. Tapi sepertinya ada hubungannya dengan Ibunya Lesty."
Dahi Ralind berkerut semakin dalam. "Lesty yang nyuruh kita ke desamu, yang ketemuan sama kita di sungai itu?"
Jaya mengangguk, lalu tersenyum miring. "Ya, Lesty yang itu. Ibunya Lesty, isteri keduanya Om Tony."
Ralind manggut-manggut dengan mulut membulat sempurna. "Oh." Raut wajahnya berubah paham, bibirnya ikut tersenyum miring. "Rumit, ya?"
Jaya tertawa. "Ya, begitulah. Hubungan manusia nggak pernah mudah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled By You
RomancePerbedaan usia 7 tahun tidak membuat Ralind merasa harus menjadi kakak perempuan Jaya. Apalagi pemuda itu adalah anak mantan selingkuhan Daddynya. Tidak sudi! Bagaimana mungkin Ralind membiarkan Jaya menarik hatinya, sementara Malika, sang adik kesa...