Sejak pulang dari Kediri, ada dua hal yang menjadi kebiasaan baru Ralind. Itu adalah, melamun dan tersenyum sendiri.
Bahkan ketika berada di kantor, gadis dengan disiplin kerja paling tinggi ini sering melamun. Kemudia ia tersenyum, lalu menyadari kebodohannya, dan serius bekerja lagi. Tapi tak bertahan lama, ia melamun lagi, tersenyum lagi, mengutuki kebodohannya lagi, fokus bekerja lagi. Begitu terus sampai dia menyerah dan memutuskan untuk beristirahat sebentar dari rutinitasnya memeriksa dokumen-dokumen perjanjian kontrak unit apartemen.
Saat Ralind meletakkan punggung pada sandaran kursi, ponselnya bergetar. Ia pikir pesan yang baru saja masuk itu berasal dari Mommy, Daddy, atau Malika. Ternyata bukan. Pesan itu berasal dari Jaya, subyek lamunannya sejak kemarin malam.
Ralind menegakkan punggung sewaktu membaca pesan dari bocah ingusan itu.
Aku baru sampai di kamar apartemen.
Hanya sebaris, tapi berhasil membuat Ralind tersenyum lalu berdecak --pura-pura-- kesal. "Gitu aja pakai laporan segala."
Oh, ya udah.
Tiga kata itu Ralind kirim sebagai balasan.
Tapi kemudian dia menyesal, mengapa harus dibalas secepat itu? Seharusnya dia membalasnya nanti menjelang jam makan siang, atau sore sekalian, setelah pulang kantor. Kalau secepat ini, Jaya pasti mengira bahwa pesannya penting untuk Ralind.
Padahal ... iya.
"Haish. Nggak, ah. Nggak penting." Ralind menyangkal kata hatinya dengan mengembalikan ponsel ke atas meja. "Dia nggak penting sama sekali."
Ting!
Pesan baru masuk lagi.
Secepat kilat Ralind menyambar ponselnya dari atas meja, membuka dan langsung membaca pesan Jaya yang disertai sebuah foto.
Aku bawa oleh-oleh ini dari desa.
Ada batang lompong, tiga kelapa utuh, empat ikat jengkol, satu kresek besar bunga rosela, satu kotak plastik jenang gula kelapa, satu kresek besar rengginang dan masih banyak lagi benda-benda yang Ralind tidak tahu namanya.
Sambil mengernyitkan dahi dan memasang senyuman aneh di bibir, Ralind mengetik cepat pesan balasan.
Serius kamu bawa semua itu dari desa?
Dua detik kemudian pesan balasan dari Jaya datang.
Serius. Dan aku naik bus. Kebayang nggak repotnya seperti apa?
"Hmpf." Ralind menahan tawanya sambil mengirimkan emoticon tertawa dengan dahi berpeluh.
😅
Jaya mengirim pesan balasan lagi.
Untungnya Nenek nggak maksa aku bawa ayam jago juga. Kalau iya, aku bisa diusir dari bus. Atau malah, nggak boleh naik bus.
"Bwahahahahaha!" Kali ini tawa Ralind benar-benar meledak.
Dia pikir, adegan membawa oleh-oleh segambreng dari desa ke kota hanya ada di film-film nasional. Ternyata hal itu dialami sungguhan oleh Jaya. Sungguh menarik.
Belum sempat Ralind menjawab, Jaya sudah mengirim pesan baru lagi.
Kak Ralind bisa bantu aku, nggak?
Ralind mengernyitkan dahi menanggapi pertanyaan itu.
Bantu apa?
Jaya menjawab dua detik setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled By You
RomancePerbedaan usia 7 tahun tidak membuat Ralind merasa harus menjadi kakak perempuan Jaya. Apalagi pemuda itu adalah anak mantan selingkuhan Daddynya. Tidak sudi! Bagaimana mungkin Ralind membiarkan Jaya menarik hatinya, sementara Malika, sang adik kesa...