Part 13. Hesitate To Marry

897 139 16
                                    

Ralind mendesah. Lamunannya terlempar kembali pada peristiwa kemarin ....

Pertengkarannya dengan Adam berhasil dilerai oleh Daddy yang baru pulang dari kantor. Tidak hanya melerai, Daddy juga mengusir Adam dari apartemen karena terpergok mengintimidasinya. Ralind berhasil lolos dari jerat pertanyaan Adam yang serasa mencekik lehernya kuat.

"Apakah kamu mencintaiku sama seperti aku sangat mencintaimu?"

Sekali lagi, sejujurnya, Ralind tidak tahu, apakah dia mencintai Adam atau tidak. Bahkan kini dirinya juga ragu, apakah pernikahannya dengan Adam harus diteruskan atau tidak?

Baginya, pernikahan adalah penjara ketidakadilan. Dia merasa terkekang dengan segudang peraturan yang hanya memberatkan kaum hawa secara sepihak. Sudah banyak contoh buruk dari penghakiman masyarakat yang lebih dibebankan kepada istri ketimbang pada suami. Tidak usah jauh-jauh, contohnya Daddy dan Mommy. Saat Daddy selingkuh, lingkungan sekitar lebih menyalahkan Mommy, mengapa Daddy sampai selingkuh? Mommy dianggap tidak becus memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.

Padahal saat itu Mommy sedang hamil. Seharusnya Daddy paham, wanita hamil apalagi saat masih trimester pertama pasti bad mood dan rentan jika diajak berhubungan badan. Tapi mengapa Daddy malah justru selingkuh dengan Tante Maya untuk memperoleh kepuasan seksual? Ya walaupun hubungan mereka seperti anjing dan kucing, tidak pernah akur. Kepuasaan seksual juga tidak benar-benar didapat Daddy-nya dari Tante Maya. Ralind bersyukur akan hal itu.

Itu Daddy. Bagaimana dengan Adam?

Kedua pria itu sama-sama menjunjung tinggi patriarki yang bagi Ralind sangat menyebalkan dan tidak adil. Apakah jika menikah dengan Adam nanti, dia harus patuh dan tunduk di bawah titah pria itu? Oh, please. Memikirkannya saja dia sudah sangat muak.

"Lind ..." Sapaan dan usapan di pundaknya membuat Ralind berjingkat kaget, lalu sadar dari lamunan panjangnya.

Dia menoleh pada asal suara. "Daddy." Subjek yang menjadi lamunannya kini tengah berada di hadapannya. "Udah pulang dari meeting? Kok cepet?"

Liand menghela napas, lalu melepas jas dan meletakkannya di punggung kursi kebesaran. "Nggak jadi, pak Calvin masuk rumah sakit. Waktu perjalanan ke sini dia kena serangan jantung."

"Innalillahi ..." Ralind terkejut, kemudian berwajah prihatin. "Daddy nggak jenguk ke rumah sakit?"

Liand menggeleng sambil mendudukkan diri di kursi kebesarannya. "Beliau langsung dibawa ke Singapore."

Ralind manggut-manggut, lalu bergumam, "Semoga pak Calvin segera membaik."

Liand hanya membalas harapan itu dengan senyuman sambil melonggarkan dasi. Dia berdoa dalam hati, semoga penyakit itu tidak menyerang dirinya juga. Sebab, usianya kini rentan terkena penyakit degeneratif semacam jantung.

Ralind kembali fokus pada layar laptop. Sebelum keluar dari kantor tadi, Daddy menyuruhnya memeriksa laporan keuangan agar tidak ada penyelewengan anggaran. Tapi, entah mengapa otaknya susah sekali diajak bekerja sama. Sejak tadi menatap layar laptop tapi kemudian angannya melayang jauh kemana-mana. Ralind mendesah lagi untuk kesekian kalinya hari ini.

"Ada apa?"

Pertanyaan itu membuat Ralind menoleh pada Daddy-nya lagi. "Hm? Apanya?"

Liand menunjuk putrinya memakai dagu. "Sejak kemarin, lebih tepatnya sejak bertengkar dengan Adam, Daddy lihat kamu murung terus. Ada apa?"

Ditanya seperti itu, Ralind kembali menghadap ke layar laptop. "Nggak ada apa-apa. Paling cuma lagi bad mood, mau PMS."

Liand menatap cemas pada putri sulungnya yang sedingin kutub utara ini. "Lind, Daddy kenal kamu sejak kamu masih dalam kandungan Mommy."

Tangled By YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang