Part 15. Wedding Cancellation

520 99 16
                                    

Nindi dan Adam menyusul ke butik Xaverio setelah ditelepon Humaira perihal jubah yang full payet.

"Aduh, aduh. Maaf, Sayang." Nindi yang baru datang, langsung menyerbu dan memegang kedua tangan calon menantunya. "Mama nggak ngabarin dulu sebelum nambahin desain jubah."

Ralind yang dipegang tangannya menyembunyikan muka masam dengan senyuman terpaksa. "Assalamu'alaikum, Tante."

Diberi salam dan dipanggil Tante membuat Nindi yang semula bersikap akrab mendadak canggung. "W--wa'alaikumsalam."

Humaira segera menyodok lengan putrinya memakai siku, kemudian memasang wajah ramah pada Nindi. "Nggak apa-apa, Kak. Maaf ya, tadi aku telepon untuk konfirmasi. Kak Nindi dan Adam nggak harus datang ke sini, kok. Kalian pasti lagi sibuk."

Nindi mengibaskan tangan. "Nggak apa-apa, Mai. Lagipula, aku juga ingin lihat calon mantuku pakai gaun pengantin," tawanya terdengar senang.

Humaira membenarkan. "Aku juga ingin lihat Ralind pakai wedding dress ini." Kepalanya menoleh pada anak bungsu yang sejak tadi berwajah kaku. "Ayo, Lind. Coba dulu bajunya."

Tanpa menjawab, Ralind berjalan menuju fitting room diiringi para pegawai butik yang membawa gaun pengantin.

"Apa kabar, Dam?" Liand berbasa-basi ketika calon menantunya menghampiri dan duduk di sebelahnya.

"Alhamdulillah, Om." Adam tersenyum kaku, mengeluarkan ponsel dari saku kemeja, lalu sibuk berselancar di dunia maya.

Liand mengernyitkan dahi melihat tingkah laku itu. Tidak biasanya Adam se-tak acuh ini. Bahkan pertanyaan basa-basinya hanya dijawab singkat dan tak dibalas dengan pertanyaan serupa.

Sementara itu, Humaira dan Nindi sedang berdiskusi seputar vendor pernikahan di depan display gaun-gaun pengantin. Liand masih sibuk menganalisa perubahan sikap calon menantunya yang terkesan dingin dan tak peduli.

"Papamu sedang sibuk?" tanyanya kembali berbasa-basi, meskipun dia tahu, calon besannya sedang mengawasi dekorasi lokasi pernikahan anak-anak mereka. Dalam perjalanan ke butik tadi, dia sempat berkirim pesan dengan pria bule itu.

"Hm, ya." Adam masih menunduk pada layar ponsel.

Jawaban yang singkat dan ... tidak sopan.

Liand tidak mau berprasangka buruk. Hanya saja firasatnya mulai tidak enak.

"MasyaaAllaah ..." Nindi menyambut gembira calon menantunya yang baru keluar dari fitting room. "Cantik sekali Anak Mommy Humaira."

Gadis yang dipuji hanya menarik sudut bibirnya secara terpaksa, tampak tidak nyaman dengan gaun yang dikenakan. "Jubahnya harus dipakai juga, Mom? Kan ini udah pakai kerudung labuh, kenapa harus pakai jubah juga? Malah jadi kelihatan nggak rapi."

Humaira kebingungan menerima protes putrinya di hadapan calon besannya. "Y--ya harus dipakai, dong. Jubahnya udah selesai dibuatkan khusus untuk desain gaun pengantinmu. Masa nggak dipakai?"

Ralind semakin kesal bahkan hampir menangis. "Tapi desain awalnya nggak gini. Aku udah setuju sama desain yang Mommy kasih tempo hari. Sekarang kok jadi gini? Aku nggak nyaman."

Rengekan Ralind terdengar menjengkelkan di telinga Humaira. Putri sulung yang biasanya digadang-gadang bersifat mandiri, tangguh, baik hati, dewasa dan bijaksana sekarang bersikap tak masuk akal.

"Tinggal dipakai aja apa susahnya sih, Lind? Lagipula, jubah full payet gini bagus kok, kelihatan mewah." Humaira berusaha membesarkan hati--atau memaksa--putrinya agar mau patuh.

"Mewah apanya? Norak iya!" Ralind tidak mau memendam kekesalannya.

"Ralind!" Humaira pun ikut murka. "Jangan egois kamu!"

Tangled By YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang