Part 14. Dissaster in Fitting Dress

577 111 11
                                    

Ralind tidak menghendaki pernikahannya dengan Adam terjadi.

Fakta baru itu menjadi beban pikiran Liand sejak minggu lalu. Semua sudah disiapkan dengan sangat matang. Vendor-vendor mahal ternama pun sudah dipesan istrinya demi menggelar sebuah pesta pernikahan mewah untuk putri sulung mereka. Tidak sedikit uang yang mereka gelontorkan untuk mempersiapkan semua itu.

Baiklah, uang tidak menjadi masalah. Milyaran rupiah tidak begitu mengusik hartanya yang sudah mencapai trilyunan. Namun bagaimana dengan nama baik?

Bukan hanya nama baik keluarganya saja yang sedang menjadi taruhan, tetapi juga nama baik calon besannya. Tidak terbayang, bagaimana jika nanti pernikahan anak-anak mereka batal, akankah Nicholas masih sudi menjadikannya rekan bisnis, lebih dari itu, sahabat karibnya? Begitu pula Nindi, masihkah mau menjalin persahabatan dengan Humaira?

Liand pusing memikirkan semua itu sampai mual rasanya.

"Sayang ..." sapaan Humaira membuyarkan lamunan panjangnya. Istri cantik bak bidadarinya ini entah sejak kapan sudah duduk di sampingnya.

Liand mengubah mimik wajah yang semula kalut menjadi tersenyum saat menatap istrinya.

Senyuman itu percuma disuguhkan. Humaira terlanjur melihat wajah kusut suaminya. "Ada apa? Apa di kantor sedang ada masalah?"

Ngomong-ngomong, mereka sedang berada di teras taman penthouse. Andra dan kedua kakak perempuannya jalan-jalan ke mal sebelah untuk rekreasi sekaligus membangun bonding. Sedangkan Liand--mumpung tidak ada acara penting--ingin duduk bersantai di teras penthouse sambil menikmati teh hangat buatan istri tercinta. Sayangnya, ucapan Ralind tentang pernikahan yang sebentar lagi digelar menjadi ganjalan serius.

Liand menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Dibutuhkan mental sekuat baja untuk membicarakan masalah sensitif ini pada istrinya. Siap tidak siap, Liand harus melakukannya. "Nggak ada masalah di kantor. Hanya saja, aku sedang memikirkan pernikahan Ralind dengan Adam."

Mendengar jawaban suaminya, raut wajah Humaira bertambah cemas. "Ada apa dengan pernikahan mereka?"

Liand menatap sepasang telaga biru Humaira yang selalu membuatnya kagum, kemudian ganti bertanya, "Bagaimana kalau Ralind keberatan dengan pernikahan mereka?"

Humaira berubah tegang. "Nggak ada hak buat dia untuk keberatan dengan pernikahan ini."

Liand terdiam menerima jawaban istrinya. Dia sadar sudah mengusik ketenangannya sendiri yang sudah dia upayakan sejak tadi.

"Kita sudah mengatur semuanya. Undangan juga sudah disebar. Semua orang tahu bahwa Ralind akan menikahi Adam. Apa jadinya kalau tiba-tiba pernikahan mereka batal?"

Kepala Liand terangguk paham. "Aku mengerti, Mai. Tapi kalau nanti pernikahan mereka nggak bahagia karena nggak dilandaskan cinta, gimana?"

"Cinta bisa diupayakan." Humaira menyanggah pemikiran suaminya yang sangat tidak menyenangkan. "Kamu ingat? Aku dulu awalnya juga belum mencintaimu, malah justru tergila-gila sama papa Fahri. Tapi lama-lama, aku bisa mencintaimu. Berkat perjuanganmu, aku luluh. Aku yakin, Adam juga bisa membuat Ralind jatuh cinta padanya seperti kamu membuatku jatuh cinta padamu."

Penjelasan itu menyerang telak ego dan logika Liand. Masuk akal, tetapi menyakitkan. Dia tidak mau perjuangannya mendapatkan Humaira disamakan dengan perjuangan calon menantunya, atau bahkan dengan pria manapun. Perjuangan yang dia lakukan dulu tentu lebih sulit berkali lipat dibandingkan dengan perjuangan Adam yang semuanya sudah diatur oleh para orangtua. Anak manja itu tinggal menikmati hasilnya saja. Sedangkan dia, percintaannya tidak diatur oleh para orangtua, malah justru kesucian Humaira direnggut paksa oleh orang yang dia anggap tua.

Tangled By YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang