Part 10. Rebel

4.2K 615 107
                                    

Acara makan malam berjalan canggung di dalam penthouse.

Ralind bermuka masam. Adam melirik-lirik kekasihnya dengan salah tingkah. Jaya tertunduk. Malika menawari semua makanan yang tersaji di meja tapi selalu berakhir dengan gelengan kepala Jaya. Sedangkan Liand dan Humaira hanya mampu saling menatap lalu mengembuskan napas panjang melihat suasana menyedihkan ini.

Hanya Andra yang ceria memakan nasi dengan sedikit kuah sayur lompong dan nugget buatan Humaira. "Enaak! Enaaak!" begitu celotehnya.

Humaira tersenyum melihat keceriaan putra terakhirnya. "Enak ya, Sayang? Andra suka kuah sayurnya?"

Kepala dengan rambut berponi batok itu mengangguk-angguk. "Suka!"

"Ini bikinan Kak Jaya, loh. Pinter ya Kak Jaya bisa masak seenak ini." Humaira memberi pujian sekaligus memecah suasana agar tidak kaku.

Andra mengangguk lagi. "Iya. Kak Jaya hebat bisa masak enak!" Dia mengacungkan jempol pada Jaya.

Jaya mendongak lalu tersenyum menerima pujian itu. "Terimakasih, Andra." Lalu ia menoleh pada Humaira yang duduk di seberangnya. "Terimakasih juga atas pujiannya, Tante."

Humaira tersenyum. "Kamu memang hebat, Jay. Bisa masak seenak ini. Om Liand aja belum tentu bisa. Ya kan, Om?"

Pria yang ditanyai tertawa mendengar ejekan halus isterinya. "Kan ada Mommy dan dua anak gadis Daddy yang pinter masak makanan enak-enak. Daddy cuma sebagai penikmat saja. Ya kan, Dam?"

Adam berdeham lalu mengangguk. "Betul, Dad. Lagipula kalau aku yang masak nanti rasanya aneh. Aku nggak paham soal bumbu." Tawanya berderai.

"Memasak itu life skill." Ralind menyela dengan wajah yang masih dipasang kaku. "Bukan urusan tugas perempuan di rumah. Tapi idealnya, laki-laki juga harus bisa memasak. Jadi sewaktu-waktu isterinya meninggal, atau dunia kiamat dan hanya menyisakan dirinya saja, dia nggak ikutan meninggal cuma gara-gara nggak bisa masak."

Raut wajah Adam yang semula sudah cerah, kini berubah keruh lagi. Kepalanya menunduk lagi. Dia tahu Ralind menyindir dirinya yang tidak bisa memasak. Tapi kemudian dia sadar bahwa secara tidak langsung, gadis itu membandingkan dirinya dengan Jaya. Dan menilai Jaya jauh lebih baik karena bisa memasak, dan dia tidak. Adam tidak suka itu.

Suasana kembali hening, hanya terdengar dentingan sendok garpu beradu piring. Menu yang tersaji di meja makan pun jadi sangat tidak menyenangkan.

Humaira menghela napas panjang lagi. Dia tidak tahu harus mencari topik menarik apa lagi untuk menghidupkan suasana makan malam kali ini.

"Oya, Jay. Kemarin waktu kamu mudik ada berita duka. Dosen pendidikan bahasa Inggris di kampus kita meninggal dunia. Kamu udah tau kabar itu belum?" Giliran Malika yang membuka suara.

Jaya mendongak dengan wajah terkejut. "Innalillahi wa innailaihi roji'un." Disusul ucapan serupa oleh semua orang. "Aku belum buka WA grup kampus. Meninggal karena apa?"

"Kecelakaan. Waktu nganter anaknya ke bandara mobilnya ditabrak truk yang remnya blong." Malika memberitahu dengan wajah prihatin.

Semua orang merasa miris mendengar cerita gadis cantik berwajah barbie itu.

"Kemarin aku udah takziah bareng temen-temen kampus. Tapi kalau kamu mau takziah ke rumahnya, aku temenin nggak apa-apa." Malika menawarkan.

Liand melirik Humaira sebagai kode bahwa ini bahaya. Dua pemuda pemudi itu tidak boleh dibiarkan pergi berduaan saja. Humaira hanya membalas lirikan itu dengan anggukan paham.

Sedangkan Jaya yang baru saja berkutat pada ponselnya langsung menolak tawaran itu. "Terimakasih, Lika. Tapi nggak perlu, aku mau berangkat sama teman-teman kampus yang belum takziah."

Tangled By YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang