Jaya gelisah, berdiri di depan pintu masuk bandara.
Dia baru saja melakukan check-in dan security check. Tas koper sudah berada di bagasi. Tas ranselnya dibawa Parmi di ruang tunggu keberangkatan. Sekarang, dia sedang berada di depan pintu masuk bandara, menatap jalan raya, layar ponsel dan jam tangannya secara bergantian.
Perempuan yang dinantinya sejak tadi belum juga muncul, padahal keluarga mereka sudah datang untuk mengantar keberangkatannya. Gadis itu ditelepon tidak diangkat, dikirimi pesan tidak dibaca.
Kata Tante Humaira, Ralind akan menyusul bersama Malika. Katanya lagi, saat ditinggal berangkat ke bandara, dua gadis itu sedang berdebat di kamar Malika, entah mendebatkan apa. Jadi yang mengantarnya sekarang selain Oma Agni, Kakek Bima, Kakek Dharma, Nenek Parmi juga keluarga Ralind yang hanya terdiri dari Tante Humaira, Om Liand, dan Andra. Ralind sendiri belum datang. Begitu pula Malika.
Jaya melihat jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit. Penerbangannya 45 menit lagi. Dia semakin risau. Meninggalkan Surabaya tanpa ada ucapan perpisahan dari gadis yang dicintai sangat tidak mengenakkan. Apalagi selama seminggu kemarin, mereka tidak saling bicara. Tiap kali berpapasan, Ralind selalu menghindar.
Bagaimana dia bisa tenang berangkat ke Turki dengan kondisi seperti itu?
"Jaya ..." Sapaan Dharma mengalihkan kegelisahan pemuda berkemeja lengan panjang yang digulung rapi sampai ke siku.
"Ya, Kek?" Jaya mengalihkan tatapannya pada pria tua yang baru datang menghampirinya.
"Duduk dulu di sana. Hargai keluarga Om Liand yang sudah mengantarmu. Jangan mondar-mandir di sini. Nggak enak dilihat orang."
Mendapat teguran dari kakeknya, Jaya menghela napas, mengenyahkan rasa gelisah. Dia terpaksa menurut dengan berjalan di belakang Dharma dan duduk di sebelah Parmi.
"Nah gitu, Le, duduk sini." Parmi menepuk paha cucu kesayangannya. "Ngobrol sama kita. Jangan mondar-mandir di tengah jalan, menghalangi orang mau lewat."
Jaya tersenyum getir, tidak enak hati sudah mengabaikan semua orang yang mengantarkannya ke bandara.
"Nungguin Malika, Jay?" Liand bertanya basa-basi.
"Sama Kak Ralind, Om." Jaya menambahkan nama gadis yang ditunggunya.
"Kak Lika nggak mau nganter Kak Jaya ke sini. Dia lagi marah." Andra ikut nimbrung.
"Eh, Adek, kok ikut-ikutan bicara masalah orang dewasa, sih." Humaira menegur putra bungsunya agar tidak memperkeruh keadaan.
"Bener, kok." Andra menyanggah polos, "Aku tadi denger Kak Lika ngomong gitu ke Kak Ralind. Mereka bertengkar di kamarnya Kak Lika."
Para Kakek dan Nenek tertawa, merasa gemas dengan celotehan lucu putra bungsu Liand.
"Udah, yuk. Andra ikut Mommy lihat pesawat." Humaira yang merasa tidak enak hati segera bangkit dan menggandeng Andra berjalan menuju kaca display pesawat.
"Kenapa buru-buru berangkat ke Turki?" Liand bertanya pada Jaya sambil menatap istri dan putranya yang berdiri di depan kaca besar bandara.
"Aku harus mengikuti banyak kursus sebelum kuliah di sana, Om. Terutama kursus bahasa Turki." Jaya menjawab sambil melirik ponselnya yang layarnya masih kosong, tidak ada notifikasi sama sekali.
Liand mengangguk paham. Kuliah di luar negeri memang rumit. Harus mempersiapkan diri jauh hari sebelum mendaftar ke universitas pilihan. Dia bahkan dulu sampai harus mengikuti sekolah persiapan sebelum mendaftar di Leeds University. Tidak heran jika Jaya melakukan hal yang sama sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled By You
RomancePerbedaan usia 7 tahun tidak membuat Ralind merasa harus menjadi kakak perempuan Jaya. Apalagi pemuda itu adalah anak mantan selingkuhan Daddynya. Tidak sudi! Bagaimana mungkin Ralind membiarkan Jaya menarik hatinya, sementara Malika, sang adik kesa...