Saat doanya tentang jodoh baru saja selesai dipanjatkan, pintu lift terbuka, menampakkan sosok Jaya yang sedang berdiri. Ralind membelalakkan mata selebar-lebarnya.
Benarkah pemuda ini jodohnya?
Tapi, mana mungkin secepat ini Allah mengabulkan doanya? Tidak. Ini pasti hanya kebetulan. Lagipula, Jaya sudah punya tunangan, Malika. Dia tidak mungkin sekejam itu merebut Jaya dari adik kesayangannya. Dia pun sudah akan menikah dengan Adam, tinggal hitungan hari lagi.
"Kak, mau sampai kapan berdiri di situ?"
Pertanyaan Jaya membuyarkan kecamuk dalam pikirannya. Kedua kaki jenjangnya segera melangkah keluar dari lift. Tanpa menoleh, tanpa mengucap sepatah kata pun, Ralind memasuki penthouse.
Ketika para orangtua bertanya keberadaan Adam, seperti orang linglung Ralind menjawab, "Nggak tahu."
Lalu, ia segera memasuki kamar, mengunci pintu, dan menjatuhkan tubuh di kasur. Pikirannya kacau. Dia hanya ingin tidur.
*****
Sudah seminggu tidak terdengar kabar dari Jaya. Bahkan permintaan Mommy untuk makan malam bersama pun ditolak dengan alasan sibuk belajar. Padahal selama ini, satu-satunya orang yang tidak pernah ditolak permintaannya oleh Jaya adalah Mommy.
Ada apa dengan pemuda itu? Apakah dia masih tersinggung perihal Adam yang menyuruhnya menyanyikan lagu sedih yang mengingatkannya pada kedua orangtuanya?
Ralind penasaran. Namun karena kegamangan hatinya soal jodoh, ia urung menghubungi Jaya. Ralind hanya dapat memantau keberadaan pemuda itu dari orang-orang di sekitarnya. Seperti Malika yang selalu ditolak setiap mengajak Jaya ketemuan. Atau Daddy yang selalu berakhir kecewa setelah menelepon pemuda itu untuk mengajak makan bersama.
Sungguh mati, Ralind jadi geram. Begitu sibuknya kah pemuda sombong itu sampai meluangkan waktu untuk makan malam bersama saja tidak bisa? Jika dibandingkan dengan Malika yang masih bisa meluangkan waktunya dengan menonton drama Korea, mengajaknya hang out di kafe-kafe kekinian, atau sekadar mengeluhkan kerinduannya pada Jaya, bukankah itu terlalu mengada-ada jika Jaya mengaku sibuk kuliah? Padahal Jaya dan Malika seumuran. Universitas mereka pun sama. Hanya beda jurusan saja. Malika mengambil prodi Mipa, sedangkan Jaya tekhnik elektro.
Bahkan jika dibandingkan Roland yang pernah mengambil dua prodi sekaligus dalam waktu bersamaan, tidak sesibuk Jaya, kok. Adik nomor duanya itu juga sering meluangkan waktu makan malam bersama keluarga Evelyn untuk mempererat hubungan pertunangan mereka sebelum melanjutkan studi doctoral-nya di Leeds.
Itu sebabnya, ketika baru pulang survei bersama Daddy di daerah Surabaya selatan, tanpa pikir panjang Ralind berlari menyusul Jaya yang baru saja memasuki lift VIP. Hampir saja tangannya terjepit jika pemuda itu tidak sigap menahan pintu lift.
Terengah-engah dia mengucapkan terima kasih karena Jaya baru saja menyelamatkan tangannya dari gencetan pintu lift. Tetapi pemuda itu hanya membalas dengan senyuman datar dan ekspresi wajah yang aneh. Ralind semakin kesal hingga melayangkan tinju ringan di bahu bidang pemuda itu.
Lalu, entah bagaimana percakapan mereka bergulir pada topik yang sangat berbahaya. "Apakah salah, kalau aku beranggapan bahwa aku orang yang penting bagi Kakak?"
Pertanyaan itu membuat napas Ralind tercekat di tenggorokan. Detak jantungnya mendadak rusuh. Pertanyaan Jaya seperti sedang menelanjangi perasaannya.
Ting!
Untung saja pintu lift berbunyi. Tanpa disadari, mereka telah sampai di lantai paling atas di mana letak penthouse berada. Jaya bahkan sudah melewatkan lantai unit apatemennya di lantai tiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled By You
RomancePerbedaan usia 7 tahun tidak membuat Ralind merasa harus menjadi kakak perempuan Jaya. Apalagi pemuda itu adalah anak mantan selingkuhan Daddynya. Tidak sudi! Bagaimana mungkin Ralind membiarkan Jaya menarik hatinya, sementara Malika, sang adik kesa...