| Chapter 11 | : Nothing

71 30 1
                                    

Suasana sekolah masih terasa muram, ditambah langit yang mempertahankan gumpalan awan kelabu pekat di atas sana. Membuat cahaya matahari semakin segan bersembunyi di baliknya.

Gerbang sekolah SMA Kaosta ada di depanku dan juga kehadiran seorang pria tua yang berdiri di dekat gerbang membuat hampir seluruh fokusku menuju ke arahnya.

Langkahku terpacu cepat ke tempat Paman Sit yang sekarang tengah mengaduk kopi di cangkir kalengnya dengan kemasan plastiknya yang digulung.

"Pagi Paman Sit!" Pria tua dengan uban di mana-mana itu hendak beranjak sebelum tiba-tiba tersentak sebentar, melihatku lalu ragu-ragu tersenyum tipis. "Pagi juga untukmu," jawabnya sambil membuang kemasan yang dijadikan pengganti sendok itu pada tempat sampah kecil di dekat dinding posnya.

Perasaan ragu hinggap begitu saja di dalam diriku. Seolah penampilan kuyu dan loyo Paman Sit pagi ini yang telah membuatku seperti ini. Wajah pria tua itu kusut tidak seperti biasanya, matanya merah mengantuk dan gerakan tubuhnya seolah dia lemas, tak bertenaga.

Paman Sit melihatku mematung di dekatnya tanpa berniat melanjutkan langkahku masuk ke dalam sekolah sama seperti siswa-siswi lain yang mulai bergantian masuk tanpa menghiraukan keberadaan kami. Hanya ada beberapa siswa yang menyapa satpam tua ini dan sebagian besar berjalan lurus dengan wajah cuek nan sombong.

"Sepertinya kau mau mengatakan sesuatu padaku?" tanya Paman Sit. Dia tahu aku tengah mempersiapkan diri dan menyusun rencana menghadapinya. Dia duduk di kursi reotnya dengan hati-hati. Bahkan setelah menarik napas panjang yang terdengar berat.

"Apa aku boleh tanya sesuatu?" Raut satpam tua itu berubah sedikit lega tapi ada raut cemas yang menyangkut di sana. Aku menatap setiap perubahan dari gerak-geriknya tanpa mau ketiggalan secuil pun.

"Apa tentang siswi yang meninggal itu?"

Tepat sekali! Aku hampir saja menyorak dalam desahan kecil sebelum dengkusan panjang Paman Sit memecah segalanya. Lebih baik aku bersiap menyimak dengan penuh kehati-hatian.

"Mungkin ini memang salahku juga," cetusnya tanpa berniat menatapku saat mengucapkan kalimat tersebut. Dia menatap gerbang sekolah pelan, seolah kembali mengingat kejadian waktu itu di mana hujan turun dengan derasnya dan pembunuhan itu terjadi tanpa sepengetahuannya.

"Aku tidak tahu jika ada bajingan pembunuh itu saat turun hujan. Aku hanya memikirkan nasib istriku di rumah yang sakit parah." Aku masih mendengarkan setiap kata yang dikeluarkan dengan desahan cemas dan rasa bersalah dari bibir Paman Sit. Gelas kopi di tangannya segera diletakan di pinggiran dinding yang sudutnya sedikit lebih menonjol keluar. Cat-cat dinding banyak berjamur di bagian tak tersembunyi dari jangakauan penglihatan jarak jauh.

"Mungkin kau benar saat itu," ujar Paman Sit dan saat ini aku pastikan dia menatapku dengan raut yang sama. Kami akhirnya saling menatap satu sama lain. "Tentang jeritan itu ... mungkin itu ...."

"Pembunuh itu tengah beraksi melenyapkan Iren." Aku membantunya menyelesaikan ucapannya seolah ditelan sesuatu lain. Satpam tua itu segera mengusap wajahnya yang berlinang air mata.

"Saat itu seharusnya aku kembali ke sekolah dan memeriksa apa yang terjadi .... Aku merasa bersalah sekali terhadap anak itu." Paman Sit seolah berjuang dengan rasa penyesalannya. Dia pasti tidak bisa tidur setelah ini, untuk waktu yang panjang pula. Apalagi dia disebut menjadi saksi mata karena berada paling terakhir di sekolah pada saat itu atau mungkin tidak. Aku tidak tahu dan bingung harua apa.

Apa yang bisa kulakukan? Hanya diam dan melihat pria tua itu mengusap air matanya yang hendak jatuh. Berusaha agar tetap tenang dan melanjutkan hidup dengan perasaan bersalahnya sendiri.

Beberapa menit setelahnya, kami berdua diam. Paman Sit menyesap kopinya yang terlihat sudah mulai mendingin. Suara langkah siswa-siswi lain yang masuk melewati gerbang begitu mendominasi obrolan kami.

"Kau masuklah, sebentar lagi anak-anak dari kelas 12A akan datang, mereka tidak suka anak kelas lain berada di dekat gerbang karena menghalangi jalan."

Aku hanya mengangguk ragu dan berpamitan, melirik pria tua itu tengah menenangkan dirinya sendiri dengan menarik napas dalam-dalam. Sebelum bocah-bocah dari kalangan sendok mas berdatangan dengan mobil-mobil yang berkilau. Kenapa mereka tidak memakai pesawat atau kereta api saja sekalian? Biarlah kesombongan mereka menelan sekolah buruk ini. Ya, aku harus melanjutkan langkahku bersama anak-anak lainnya sekarang sebelum rintik hujan turun dan membasahi seragamku yang kubenci ini.

****

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang