| Chapter 22 | : Euna

69 22 6
                                    

"Mayat!" Lona menjerit seketika membuat kami menatapnya yang memang berada paling belakang. Aku menatap telunjuk Lona yang mengarah pada tong sampah berukuran besar, kupikir cukup muat untuk dua siswa masuk ke sana. Terbuat dari tong kaleng bahan bakar yang dihias dengan cat semprot. Kami mungkin hampir terkejut jika setelahnya sadar ada sepasang kaki di sana.

Ken dan aku berjalan mendekati tong itu. Tong milik kelas 10-D. Kelas sepuluh memiliki ruang kelas terbanyak di sekolah SMA Kaosta. Karena mungkin para siswa-siswi yang tidak tahu betapa mengerikannya sekolah ini sanggup bertahan selama satu semester dan hengkang saat kenaikan kelas berlangsung.

"Menurutmu siapa yang mati di sana?" Ken menatapku ragu, besi di tangannya dicengkeram begitu kuat. Aku menggeleng pelan dan perlahan melongok ke tong sampah itu. Seketika aku menutup mata sambil memekik kecil. "Anak siswa dari kelas 12-C, sepertinya?"

"Wajahnya hancur? Apa itu goresan benda tajam?" ujar Ken padaku. Aku mulas dan lututku lemas. Segera dengan tertatih-tatih menjauhi tong itu. Namun, Ken menyambar knop pintu kelas 10-D dan mencoba membukanya. "Sial! Terkunci!" umpatnya.

"Lebih baik kita lanjutkan perjalanan menuju gerbang dan ingat! Jangan pernah berpisah dari kawanan!" tekan Bu Lyna sambil memegang kapak itu dengan hati-hati. Aku yakin dia tidak pernah memegang benda dingin dan berat itu. Ditambah kapak itu sepertinya milik salah satu pembunuh yang tidak sengaja meninggalkannya di selokan.

Aku menatap suasana sekolah yang gelap. "Jam berapa sekarang?"

Dino menatap jam tangannya. "21.45!"

Aku menghela napas. "Masih ada waktu sebelum larut," sanggah Sua.

Kami semua bergerak lagi dalam kegelapan sekolah. Hanya bayang-bayang putih dari lantai sekolah, dinding yang hanya di cat putih setengahnya dan kehadiran CCTV di setiap sudut sekolah.

"Apa kita dipantau terus dengan benda itu?" Pertanyaanku mungkin sanggup menyadarkan mereka yang masih siaga dalam kegelapan. Titik merah pada CCTV mencuri perhatian karena terus saja berkedip-kedip dalam kegelapan.

"Sepertinya begitu, pembunuh itu mungkin berada di ruang pengawas CCTV!" kata Luda.

"Kalau begitu kita ke ruang CCTV untuk membunuh bajingan itu!" dengkus Ken. Di tangannya ada sebatang besi, mungkin dia merasa akan menang dengan itu.

"Kita tidak bisa melawannya dengan korek api semacam itu!" sungut Lona dan memang ada benarnya apa yang dia katakan barusan. Mungkin saja pembunuh itu memiliki senjata api atau sebuah bom.

DOR!

Bukan hanya aku yang terkejut karena suara tembakan itu begitu menggema dan mengisi kesunyian sekolah SMA Kaosta. Disusul dengan jeritan siswi yang begitu lantang hingga tembakan kedua kembali meletus.

Euna jatuh meringkuk ketakutan di lantai dan tentu saja menangis minta pulang. Aku segera mendekati dan merangkul tubuh ringkih Euna yang bergetar. "Tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja. Sebentar lagi kita akan segera keluar dari sini." Euna menatapku denga mata bulatnya yang basah. Dia memberikan jari kecilnya padaku. "Kau janji?"

Senyumku yang rikuh segera kuterbitkan dalam garis bibirku untuk menenangkan Euna dan mengaitkan jari kami berdua.

"Kenapa harus ada drama lagi sih?" gerutu Lona setengah jengkel.

Aku dan Euna tidak menanggapi ocehan Lona dan segera bangkit sebelum bel kembali berbunyi dua kali. Berarti ada dua siswa-siswi yang mati secara mengenaskan dalam permainan ini.

Tiba-tiba pengeras suara berbunyi dengan gemerisik dan selanjutnya suara pembunuh itu muncul.

"Halo semua peserta permainan. Bagaimana sampai sini. Kulihat setengah dari kalian sudah tewas."

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang