"Kau dari mana saja?"
Baru saja aku kembali dari parkiran, ternyata Galan telah lebih dulu menyambutku dengan sekantung roti di sebelah tangannya. Dia mengangkat kantung plastik berwarna putih itu dan berkata, "Tadi aku mencarimu ke mana-man ternyata kau di sini. Ayo kita nikmati ini di belakang kelas."
Belum aku menyela atau setidaknya mencegah rencana Galan. Dia lebih dulu menarik tanganku dan membawa langkah kami ke belakang kelas yang lebih sepi.
Hamparan rumput dan deretan pohon jambu membuat suasana yang lebih rimbun.
Galan mengajakku duduk di sebuah kursi yang terbuat dari semen. Dibentuk seapik mungkin hingga menyerupai beberapa bentuk binatang. Ada lumba-lumba, keong, batu karang juga hingga bunga lotus yang tidak bisa diduduki berada paling tengah.
"Aku membeli roti isi kopyor kesukaanmu," kata Galan sambil tangannya sibuk mengeluarkan satu persatu roti dari dalam kantungnya. Sementara aku mencengkeram kuat-kuat kertas milik Windy di tanganku. Perasaan ragu merayap begitu saja, seperti berada di ambang jembatan yang rusak. Memilih dua pilihan yang harus aku ambil. Menceritakan tentang kertas teror itu kepada Galan atau tidak.
"Ayo makan?" Galan meletakkan tiga bungkus roti di atas meja semen berbentuk jamur di antara aku dan dirinya yang masing-masing duduk di kursi semen berbentuk keong.
Aku menatap roti-roti itu tanpa ada niat untuk memakannya. Bahkan rasanya lidahku hambar dan kering. Isi pikiranku lebih tertarik dengan nasib Windy dan isi kertas yang aku pegang sekarang. Galan tidak akan tahu aku tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Aku tahu Galan orang yang ceroboh dengan sikap pemarahnya. Jadi, sepertinya aku tidak akan memberitahukan soal ini. Kecuali aku sendiri yang ingin memecahkan siapa pembunuh itu. Dia saat ini pasti tengah menyasar Windy.
Tapi kenapa Windy? Kenapa harus ada yang lainnya ikut diteror seperti ini? Sama seperti perkiraanku waktu itu, jika pembunuhnya pasti tengah memberikan sebuah tanda dan kode akan ada mayat atau korban selanjutnya selain Iren.
"Aria, kenapa kau tidak memakan rotinya?" Pandanganku segera beralih pada Galan yang berhenti menguyah roti di tangannya. Matanya datar menatapku. Kesal dengan sifat keras kepalaku. "Kau tidak suka? Apa mau sesuatu yang lain?" tanyanya lagi.
Sejenak aku heran, kenapa Galan tiba-tiba menjadi sok perhatian dan perduli? Biasanya dia tidak sepemaksa seperti sekarang ini. Bahkan aku yakin jika aku membawa bekal ke sekolah dan pasti Galan yang akan menghabiskannya. Galan sekarang terlihat aneh menurutku.
"Hei, kenapa jadi melihatku seperti itu?"
"Apa?"
"Makan cepat rotinya? Apa harus aku membuka bungkusannya juga?" Dia berkata sambil merobek salah satu kemasan rotinya dan menyerahkannya padaku. "Ayo makanlah, jangan manja."
"Siapa yang manja?" kataku kesal sambil menerima roti itu dari tangan Galan.
"Buktinya kau mau menerima rotinya saat aku sudah membukanya untukmu. Apa itu artinya kalau tidak manja?"
Tiba-tiba aku merasa kesal saat Galan mencoba menarikku dalam kubangan perdebatan yang memuakkan seperti ini. "Lantas aku harus membuangnya? Tidak sopan!" kataku ketus padanya.
Galan tertawa renyah, memperlihatkan sederet gigi rapinya yang di sana ada sisa selai stoberi. Sekarang malah aku yang tertawa karena hal itu. Sebaliknya Galan berhenti tertawa dan melihatku dengan raut datar. "Kenapa kau ikut tertawa? Ada yang lucu ya?"
Spontan aku berhenti tertawa dan memasang wajah datar sama seperti Galan saat ini. "Tidak tahu!"
"Hah? Apa maksudmu dengan 'tidak tahu' ...? Kau ...." Galan menatapku dengan pandangan ngeri yang dibuat-buat. Aku sontak memberinya pelototan tajam. "Apa?"
"Kau ... apa aku salah mengira, jika kau terlihat aneh akhir-akhir ini," kata Galan dengan nada menuduh.
"Sekarang giliranmu menuduhku yang tidak-tidak?" Galan cekikikan lalu menyingkirkan poni rambutnya yang tertiup angin dan jatuh tepat di depan matanya. "Sebenarnya siapa yang aneh di sini?" katanya.
"Pikir sendiri sana," kataku setengah marah.
Galan mengedikan bahu sambil menelan sisa roti di mulutnya. Kami terdiam beberapa saat. Hanya suara berisik dari kertas plastik yang bergerak tertiup angin. Tanganku gatal lama-lama menggenggam potongan kertas itu. Jadi pelan-pelan aku memasukannya ke dalam saku rokku tanpa Galan tahu.
Galan masih sibuk mengunyah rotinya. Matanya menatap meja berbentuk jamur, atasnya lebih dibuat datar berguna sebagai meja yang kami pakai sekarang. Matanya menatap ke bawah, memainkan setengah roti di sebelah tangannya.
"Aria," panggilnya.
"Apa?"
"Apa menurutmu Lukas akan datang lagi ke rumah?" Aku cukup terkejut mendengar nama Lukas keluar langsung dari mulut Galan. Padahal selama ini dia begitu anti dengan Kakak laki-lakinya itu.
Galan mengerjap sambil meremas rotinya. "Ah, lupakan saja. Buat apa aku harus menanyakannya padamu. Tidak penting."
Bel berbunyi lagi, tanda bahwa waktu istirahat kami sudah habis. Galan yang entah kenapa berubah canggung segera bangkit. "Kau bisa rapikan itu ya, buang pun tidak apa-apa. Aku harus pergi sebentar."
"Mau ke mana?" Aku ikut bangkit tanpa sedikit pun menyantap roti di tanganku.
Galan berbalik, baru saja dia melangkah. "Aku janji tidak akan bolos ... tapi, mungkin akan sedikit terlambat masuk kelas." Setelah menyelesaikan ucapannya, tanpa menunggu aku bersuara, Galan melenggang pergi. Meninggalkanku dengan sisa-sisa bau parfume yang baru aku sadari sekarang, sejak kapan Galan memakai parfume ...?
****
Author's Note
Ho, thanks sudah baca. Bantu saya carikan typo (tandai yap) karena penulisnya ngetik langsung di Wattpad.
🖤
Kang Zee
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SCREAM : Whos Next? ✔
Детектив / Триллер🎖 Ambassador's Pick Valentine oleh AmbassadorsID 🎖 The Best Choice's Recommendation Novel with TWT & Asra Publisher 🎖 Masuk dalam Reading List di @WattpadYoungAdultID untuk kategori Red & Dark Place © KANG ZEE present • (#) GIRL'S IN THE NIGHTM...