| Chapter 6 | : All Afraid 'Anxious'

95 30 6
                                    

Pintu ruang kelas 12-D dibuka dari luar, semua siswa yang masih kalang-kabut segera menoleh ke arah pintu. Bu Lyna, wali kelasku. Wanita berkaca mata lonjong itu menyembul dari celah pintu yang terbuka setengah. Tubuhnya yang terkenal body-goals dikalang siswa-siswa berhasrat puber tinggi. Bu Lyna masuk dengan sepatu berkaki tinggi yang ujungnya lancip. Mungkin untuk sebagian siswi sok cantik di sini akan menatap sinis ke arahnya karena gaya berpakaian Bu Lyna seperti akan pergi ke pemotretan modeling.

Hampir menghabiskan dua menit untuk Bu Lyna berdiri di depan kelas dan memberi peringatan agar semua siswanya diam dan tenang. Dan butuh sekitar tujuh menit untuk mengatur siswa-siswi kelas 12-D. Dia menjatuhkan buku yang sedari tadi dibawahnya ke atas meja.

"Kalian bisa menahan diri sebentar saja, tenang dan jangan khawatir. Pihak berwajib saat ini tengah mengatasi insiden pagi ini." Bu Lyna bersuara dengan nada dipertegas. Lucunya suaranya yang lembut serta penuh keibuan terasa kurang cocok.

"Tapi Bu, bukannya sekolah ini menjadi tidak aman. Ini insiden pembunuhan dan bisa saja nanti salah satu dari kita yang akan menjadi target selanjutnya!" Suara menyeruak dari deretan meja paling belakang. Membuat hampir seluruh isi kelas mengarah ke tempat yang sama.

Aku menatap siapa yang bersuara itu, selain siswa dengan rambut ikal pirang. Bahkan seragamnya selalu dikeluarkan. Namanya Yudha. Siswa badung yang hobi menyentuh dada siswi lain. Dia akan mengatakan "maaf, tidak sengaja!" Lalu berlalu pergi sambil tersenyum penuh kemenangan dan menyimpan setiap ukuran payudara yang berhasil ia pegang dalam otaknya. Aku tahu itu karena diam-diam melihat kelakuan minusnya. Dasar bocah tolol!

Bu Lyna menghela napas panjang, menutup matanya sebentar, menumpukan kedua tangannya pada mejanya. Membiarkan dua buku tebal yang akan kami pelajari hari ini tergeletak tak berdaya di sana.

"Ibu tahu, tapi bukan saatnya kita memikirkan hal itu. Kalian harus tetap bersiap untuk jadwal les minggu depan." Bu Lyna masih tenang seperti air. Meskipun gurat cemas di wajahnya membuat perkataannya tadi seperti omong kosong.

Suara erangan Yudha dan siswa lainnya yang pemalas membuatku merasa ingin menonjok mereka satu-satu, tepat di wajah. Apa yang mereka takutkan? Apa di dalam kepala mereka hanya bayangan dada berisi milik siswi yang menjadi korban pubernya?

"Tapi apa semuanya akan baik-baik saja, Bu? Masalah ini akan menjadi berita besar nanti kalau media tahu ...." Luda, gadis paling pintar di kelas ini bersuara. Tempat duduknya berada di depan. Itu memudahkan Bu Lyna mencerna baik-baik ucapan matang seorang Luda. Bu Lyna memangut-mangut lalu berkata, "Jangan sampai media tahu."

Luda tersedak mendengar jawaban atas pertanyaannya. "Kami semua, guru-guru masih belum menemukan titik yang bagus. Semoga akan ada jalan terbaik sebentar lagi, kalian bisa menunggu kabar baiknya setelah para pihak berwajib selesai memeriksa semua bukti dan para saksi."

Aku menoleh ke arah meja Galan yang kosong. Ke mana bocah pemalas itu pergi? Penyakit membolosnya masih bertahan bahkan sampai tahun terakhir sekolah. Aku yakin dia saat ini pasti berada di bawah pohon sukun yang besar di samping asrama. Mungkin tidur dibawahnya seperti orang mati.

"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Euna berbisik padaku lalu mengatur letak helai demi helai rambutnya yang tertelan sudut bibir.

"Kita tunggu saja jalan terbaiknya. Pasti kabar baik sebentar lagi datang." Aku mengusap pundak Euna yang bergetar. Sungguh, dia ketakutan.

Tapi sisa pemikiran tentang orang terakhir di sekolah masih mengerubungiku. Seperti lebah yang mendapat surga untuk membuat sarang.

Paman Sit, dia yang berada paling terakhir kemarin, menurutku. Tapi entahlah jika ia pulang setelah itu. Bukannya jeritan itu Paman Sit dan aku masih bersama? Aku menepuk jidat seolah membodohi diri sendiri. Memangnya apa yang aku harapkan dari pria tua penjaga gerbang itu? Membunuh seseorang apa artinya untuknya?

Jeritan itu bahkan Paman Sit tidak tahu. Kenapa aku harus curiga padanya? Meskipun tidak mungkin ada kongkalikong antara si pembunuh dan Paman Sit ....

Ya itu! Jika mungkin benar. Aku mengenal Paman Sit hanya saat datang dan pulang dari sekolah. Paman Sit tidak suka banyak bicara, wajahnya selalu saja keruh dan kasar. Tapi jika dilihat lebih dekat. Dia sebenarnya seorang pria tua yang mungkin saja menyayangi cucu dan istri tuanya. Apa yang sebenarnya aku harapkan dari pemikiran primitif seperti ini. Tapi besar kemungkinan aku menanyakan langsung kepada Paman Sit.

Aku tidak sadar saat Bu Lyna mulai berselisih dengan Yudha dan tiga antek-anteknya yang terkenal liar. Menjelaskan setiap sudut pandang dan ketakutan jika akan ada korban lagi. Kata "sekolah ini sudah tak aman," berkali-kali aku dengar keluar begitu ringan dari bibir Yudha dan teman baiknya yang seperti patuh begitu saja. Final perdebatan pun masuk ke dalam rencana pembatalan les untuk ujian akhir tahun.

Bu Lyna tidaklah bodoh, dia tahu jika empat siswanya yang sulit sekali diatur itu hanya beralasan dan meminta untuk menghilangkan jadwal les yang sudah menjadi budaya permanen SMA Kaosta.

Mataku melirik ke arah Euna di sampingku. Rambut sebahunya yang sedikit kusut dan lembab. Wajahnya masih terlihat khawatir. Selain itu aku baru sadar jika raut wajah yang sekarang Euna miliki menular ke hampir seluruh siswa-siswi 12-D.

Mereka semua ketakutan dan gelisah sama sepertiku. Mungkin jauh lebih buruk tentang yang saat ini mereka semua perkirakan kedepannya.

****


THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang