| Chapter 13 | : Sign to Die

62 28 3
                                    

Bel istirahat baru saja berbunyi dan Bu Lyna keluar dari kelas setelah menyelesaikan dua mata pelajaran yang memuakkan. Suara tapak-tapak sepatu yang beradu langsung dengan lantai sekolah menjadi suara khas di waktu seperti ini. Semua siswa keluar kelas, berlarian dengan suka cita dan melangkah bergandengan menuju kafeteria.

Kafeteria di sekolah ini ada dua gedung dan berada di titik yang berbeda. Salah satunya yang letaknya berada di dekat rusun. Itu adalah kafeteria khusus bagi siswa-siswi kelas A. Tapi kadang juga mereka tidak memperdulikan jika ada siswa dari kelas B yang masuk ke kafeteria itu. Sama saja A dan B. Hanya saja faktor A lebih memiliki kekuasaan lebih. Sementara kafeteria selanjutnya, yang letaknya berada di dekat toilet dan terlihat tak terurus hanya untuk siswa-siswi dari kelas C dan D.

Perbedaan yang selalu mencolok dari sekolah ini. Ingat satu hal, kami dibedakan oleh kasta dan sudut pandang kekayaan orang tua kami. Jika kau pintar namun miskin, jangan harap bisa masuk kelas A, atau mungkin juga B. Mungkin sedikit prestasi membuat kursimu akan berada di B atau C. Untuk D, kami seperti kaum factioneles. Terbuang dan hanya seperti sisa-sisa reruntuhan.

"Dari mana kau mendapatkan benda ini?" Aku memainkan penjepit dari Galan dengan kedua tangan. Sementara Galan berjalan mengikuti langkahku. Kami melangkah bersisian menuju kafeteria.

"Itu hadiah dari Nenekku sebelum dia meninggal," kata Galan begitu santai.

"Oh begitu, pantas saja .... Tapi kenapa kau diberi benda seperti ini? Benda ini hanya untuk perempuan." Aku menatap Galan yang tersenyum tanpa dosa. Entah berpikiran sama denganku atau dia tidak tahu mungkin jika penjepit ini adalah barang penuh tanda tanya yang diberikan oleh Neneknya.

"Ya aku juga berpikir seperti itu .... Kau pasti tidak tahu kalau Nenekku sangat menginginkan seorang Cucu berjenis kelamin perempuan. Dia membeli banyak pernak-pernik perempuan saat Ibuku mengandung. Tapi sayang sekali, apa yang diharapkan oleh Nenekku tidak berbuah hasil apa pun."

Setidaknya aku mengerti harapan terakhir dari Nenek Galan. Menginginkan seorang Cucu berjenis kelamin perempuan. Lukas dan Galan terlahir saja telah menyurut harapannya.

Kafeteria tampak penuh dari jauh. Kelas 11-D yang telah sepi, tak ada satu siswa pun yang berada di koridor sekolah. Mereka pasti tengah sibuk berebutan makanan di kafeteria. Sebagaimana semestinya gedung penyedia makanan itu dipenuhi oleh anak-anak siswa kelaparan, sesak sekali.

"Kau mau makan apa?" tanya Galan saat kami berdua berakhir hanya berdiri tak jauh di depan gedung kafeteria yang benar seperti dugaanku. Penuh dan sesak.

"Aku tidak lapar, Galan." Mendengar embusan napas di sampingku, aku yakin Galan tahu bahwa aku orang yang sulit saat waktu makan tiba. Di matanya mungkin aku seperti bocah lima tahun dalam fase harus dipaksa makan oleh Ibunya.

"Apa kau mau menjadi gadis kurus kering seperti ranting? Itu akan tambah jelek untukmu," kata Galan sambil berkacak pinggang, ditambah dengan tatapan tak sukanya pada sifatku.

"Tapi aku tidak lapar!" Aku balas membentak Galan sampai kulihat dia mengerjap terkejut.

"Ya, meskipun begitu. Kau harus makan untuk menambah tenagamu. Apa kau tidak sayang pada tubuhmu?" Aku seketika menggeleng, bukan dalam artian yang sebenarnya. Hanya saja aku malas bersitegang dengan Galan soal makanan.
Toh, aku masih bisa bernapas tanpa hanya dengan minum air putih saja.

"Aria, Aria, kau membuatku kesal. Sudah berapa lama kau selalu sulit dalam hal makan?" Galan terlihat begitu frustrasi.

"Dari kita awal bertemu .... Aku selalu memberikan makananku padamu setiap kali kita bermain."

"Ya, aku tahu itu. Kau sebenarnya bukan orang yang baik hati memberiku makanan, kau hanya sayang jika makanan itu dibuang si-sia, kan." Aku memutar bola mata kesal, lalu menukas ucapan Galan, "Aku memberikan itu dengan ikhlas. Kau catat itu."

Galan tersenyum geli. "Hei, kau pikir aku penjaga kafeteria yang harus mencatat semua daftar utang anak-anak lain?"

"Terserah!" Aku berbalik tanpa mau memperpanjang perdebatan yang tidak berguna ini menurutku. Tapi Galan segera meraih lenganku dan menahan agar aku tidak pergi. Seketika aku menatap Galan malas.

"Aku akan membelikan beberapa bungkus roti untuk kita nikmati. Kali ini aku akan memastikan kau makan dengan benar." Aku tidak memperdulikan ucapan Galan setelah dia melepaskan pegangannya dari lenganku dan pergi ke kafeteria sendirian. 

Sementara aku melangkah meninggalkan hiruk-pikuk kafeteria dan kosongnya sepanjang koridor sekolah. Mataku yang terbilang jeli dalam urusan penglihatan, mungkin benar. Karena saat aku berniat kembali ke dalam kelas. Melewati tikungan antara ruang bulang bahasa yang kecil dipojok bersanding dengan tiga kelas ekstrakulikuler lainnya.

Aku menangkap siswi yang tengah berdiri gelisah di depan kelas 12-A. Rambut yang bergelombang jatuh pada dada serta pundak. Dan juga wajahnya yang terbilang cantik. Perlahan aku mengenalinya dalam sekejap.

Windy 12-A. Dia terlihat seperti ketakutan. Sesekali menatap ke sekitarnya lalu membuka sesuatu di tangannya. Terlihat Windy meremas sebuah kertas yang ada di tangannya dengan marah. Menjejakkan kakinya dengan kesal pada lantai. Tapi kemudian Windy tampak begitu ragu harus berbuat apa. Dia menggigiti jari-jemarinya dengan gemetar. Dari jarak dua puluh lima meter lebih dan hanya terhalang pintu kelas 12-B yang tiba-tiba terbuka oleh angin. Membuat Windy lenyap ditelan pintu kayu kokoh itu.

Beberapa detik kemudian aku melihat Windy melangkah terburu-buru dan aku begitu penasaran hingga ikut melangkah mengikutinya.

Sesampainya di tempat parkiran sekolah SMA Kaosta yang cukup luas. Berderet mobil dan motor yang memenuhi parkiran. Aku melihat Windy mematung dan kembali membuka kertas di tangannya dan berteriak kesal. Untuk kedua kalinya aku melihat kertas itu diremas dan disobek menjadi dua bagian hingga berjatuhan ke lantai semen parkiran yang kasar.

Samar-samar aku mendengar umpatan dari bibir Windy. Untung saja parkiran saat ini begitu sepi. Mungkin saja Windy sengaja ke sini agar semua orang tidak tahu bahwa dia ingin meluapkan amarahnya terhadap kertas itu, lebih tepatnya isi di dalam kertas itu yang pasti membuatnya kesal dan marah seperti sekarang ini.

Aku melangkah mendekati salah satu mobil, berniat menyembunyikan keberadaanku saat Windy berjalan pergi dari tempatnya dengan langkah yang nyaring dan sisa dengusan kasarnya.

Setelah aku pastikan jika Windy tak berniat kembali. Aku telah keluar dari persembunyianku dan melangkah sama terburu-burunya mendekati kertas yang berceceran di lantai semen. Saat aku telah berhasil memunguti kertas itu dan menyatukan kembali empat bagiannya hingga sederet kalimat yang tertulis di kertas bertinta merah menyala itu dapat aku baca dengan benar.

'Kau yang selanjutnya akan menjemput ajalmu.'

*****

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang