| Chapter 24 | : You [N]ever Know

57 26 10
                                    

[ Tinggalkan jejak untuk mengapresiasi penulis ]

****

DOR!!

Pekikan yang sama membuatku meringkuk, peluru panas itu seolah mengarah pada tempatku. Suara erangan dan tubuh jatuh membuat aku mengangkat pandangan dan melihat tubuh Dino ambruk di samping mayat Paman Sit. Darah mengalir dari kepalanya.

Aku tergagap sambil melempar pandangan ke sekitarnya, suasana masih temaram sebelum Sua mendekat dan memeluk tubuhku. Bersama Bu Lyna yang terpincang-pincang mendekat.

Kami bertiga duduk sambil menatap arah mata angin yang berbeda. Mayat bergelimpangan di sekitar kami.

Paman Sit, Euna, Ken dan Dino.

Aku tak bisa menangis di saat seperti ini. Sua jauh lebih bisa dikatakan tersedu-sedu. Dikelilingi suasana hening dan jeritan lain dari jauh. Aku menutup telinga kuat-kuat agar semua ini bisa membuatku sadar. Ini adalah mimpi buruk.

Tapi apa yang kuingat dari kata 'Cucu' dari penuturan terakhir oleh Paman Sit. Mengingatkanku pada seseorang.

Tiba-tiba lampu menyala di seluruh koridor. Membuat aku sontak membuka mata dan menatap dengan jelas jika pemandangan penuh darah dan mayat ini adalah nyata adanya.

Aku tidak sedang bermimpi.

"Kalian ketakutan?"

Bukan hanya aku yang terlonjak kaget dengan suara itu. Akan tetapi begitu familiar akan suara barusan. Kami bertiga mengalihkan pandangan ke arah yang sama.

Sosok pria berjaket hitam lusuh dan celana terusan yang kusut. Di tangannya tersampir sebuah senapan mungil. Aku yakin benda itu adalah asal peluru yang menembus tengkorak Dino.

"Siapa kau?" tanya Bu Lyna tanpa rasa gentar. Aku melihat raut marah yang begitu besar di wajahnya.

Pria bertopeng tengkorak penyok itu tertawa. Kali ini aku bisa memastika suara siapa itu.

Sebelum pria pembunuh itu membuka topengnya dan menampakan sebuah wajah yang membuat kami bertiga hampir memekik tidak percaya.

"Kalian tahu sekarang siapa aku? Pembunuh yang sebenarnya?" katanya.

Kulihat Sua membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang kami lihat saat ini.

Pak Hadiswa tersenyum picik sambil membuang topeng di tangannya dan berganti mengeluarkan belati panjang hitam dari selipan ikat pinggangnya.

"Apa permainan akan berakhir begini saja?" tanyanya santai.

Sekarang aku tahu. Semua siswa yang mati adalah ulah pria yang banyak disukai itu. Seketika kuteringat dengan sore mendung di mana Irene meninggal waktu itu. Cara sama persis seperti yang dilakukannya kepada Windy dan Kika.

Percakapan di depan mading dan payung yang diberikan Pak Hadiswa padaku mungkin setelah aku berbalik pulang dan sejenak berpapasan dengan Iren. Pak Hadiswa telah membuat rencana 'tuk membinaskan Iren waktu itu. Sebagai orang yang terakhir berada di sekolah. Bukan Paman Sit yang memang telah menipuku waktu membuka gerbang. Seharusnya aku bisa meyadari mobil hitam milik Pak Hadiswa masih terparkir manis sekolah.

"Aku tahu,  kalian saat ini pasti tengah merangkai kembali setiap kejadian yang terjadi? Kematian bocah-bocah bodoh itu, memanglah ulahku." Di akhir kalimat Pak Hadiswa tertawa penuh nafsu. Belati di tangannya dimainkan seperti siap bertemu dengan korban selanjutnya.

Aku menahan amarah agar tidak mengambil langkah yang salah. Melihat Bu Lyna menangis tanpa suara. Mungkin, kebenaran ini telah membuatnya histeris. Sementara Sua masih memelukku, malah semakin kencang karena matanya masih memandang letak pisau dan senapan mematikan itu.

"Kenapa kau lakukan ini pada kami? Apa maumu sebenarnya?" Aku bertanya sambil mengarahkan tatapan penuh kebencian padanya.

Sejenak Pak Hadiswa terkesiap melihat mayat Paman Sit di depannya. Matanya bergetar dan kulihat cengkraman jari-jemarinya pada dua benda di tangannya menguat.

Aku yakin jika Paman Sit bukan orang suruhan Pak Hadiswa. Akan tetapi lebih dari itu yang mungkin sebentar lagi kuketahui apa sebenarnya hubungan mereka.

"Dia adalah Kakekku," kata Pak Hadiswa. Lalu, matanya memandangku dengan sayu. "Kalian telah membunuh Paman Sit, alias Kakekku sendiri." Pak Hadiswa tertawa miris di akhir kalimatnya sampai tubuhnya kelimpungan.

Aku tidak yakin jika dia tengah menangisi kematian Paman Sit yang ternyata adalah Kakeknya. Tapi fakta barusan membuat tangis Sua terhenti dan Bu Lyna mendengkus di sampingku.

"Jadi kalian berkomplotan membuat rencana pembunuhan ini, Hadiswa! Kau orang yang membunuh Iren dan membuat sandiwara bahwa kau yang paling kehilangan saat keluarganya berkabung!"

Pak Hadiswa tertawa lagi dan lagi, seolah rencananya baru saja begitu menggelikan telah dibeberkan oleh orang lain. Tapi sejenak tawanya hilang dan senapan di tangan kanannya di arahkan tepat pada Bu Lyna. Matanya menajam dengan sorot yang menakutkan. Aku bahkan terkejut jika pria tampan itu memiliki sorot seperti itu. "Seharusnya aku juga melenyapkanmu Lyna! Karena kau hampir saja menghancurkan semua rencanaku!" betak Pak Hadiswa dengan nyalang.

Bu Lyna malah beranjak berdiri, aku mencengkram lengannya dan Bu Lyna malah melepaskannya. Dia berjalan ke arah Pak Hadiswa.

"Bunuh aku jika kau mau! Karena aku mungkin seharusya mati sebelum anak-anak yang tak berdosa ini kau bunuh!  Hadiswa! Apa kau tidak punya hati dengan yang kau lakukan?"

Pak Hadiswa tertawa mendengar perkataan Bu Lyna yang lebih menuduhnya. Senapan itu masih terarah pada Bu Lyna yang saat itu juga berhenti beberapa langkah lagi darinya.

Aku hanya bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya saat aku menyadari tangan Bu Lyna menyusup ke dalam saku rok di belakangnya. Saku berukuran mungil namun ketika jari-jemari Bu Lyna berhasil mengeluarkan sebuah botol mungil yang memiliki warna merah mencolok. Aku menatap Pak Hadiswa yang masih menodongkan senapan itu kepada Bu Lyna.

"Apa kau bilang? Anak-anak tak berdosa? Kau bercanda?" Pak Hadiswa menatap kami bergantian. Sebelum kembali berkata dengan nada penuh dendam. "Mereka harusnya mendapat kematian yang lebih dari ini," tekannya.

"Apa maksud dari perkataanmu?" tanya Bu Lyna tanpa rasa takut jika senapan itu bisa saja tiba-tiba melontarkan peluru timah panas ke arahnya.

Pak Hadiswa tertawa lagi kini lebih terdengar mengejek dan sinis. Matanya yang memiliki sorot menyeramkan itu menatapku seolah akulah yang sehrusnya mendengar alasannya.

"Yelin, seorang murid kelas 12-A yang dirundung selama bertahun-tahun di seolah sialan ini. Apa kalian mengingatnya?"

*****

Author's Note

Halo? Apa kabar? Bagaimana sampai sini ceritanya? Apa kalian bisa menebak siapa yang tewas selanjutnya?

Jangan lupa vote dan follow penulisnya! Untuk menghargai kerja keras author!

Loveae All!

🖤

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang