| Chapter 27 | : More Trap

72 23 7
                                    

Persetan!

"Apa yang kau bilang barusan Yudha?" Aku menatap wajah sumringah lelaki paling tidak kusukai itu sekarang.

Yudha mengusapkan sisa darah di jari-jemarinya ke kaus hitam oblong yang dikenakannya. Senyum aneh masih bertengger di wajahnya. Menyibukkan diri dengan membersihkan jari tangannya dari darah dan membiarkan pertanyaanku seolah menggantung di udara. Tentu saja Yudha tengah bermain teka-teki, dia mengajakku ikut serta dalam kepribadiannya yang sampai saat ini aku tak bisa menebak selain satu fakta baru.

Licik dan kejam jika benar dia telah mengikuti peraturan permainan ini.

"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, Yudha?" Seketika itu pula Yudha berhenti membersihkan lengannya yang masih ada darah kotor di sana. Wajahnya terangkat menatapku, senyum licik itu masih bertengger sebelum berujar, "Apa itu penting?"

Darahku tiba-tiba seperti mendidih dalam titik yang luar biasa. Yudha brengsek. "TENTU SAJA! KAU BILANG KAU MEMBUNUH YANG LAINNYA! APA ITU? APA KAU GILA! DENGAN MENGIKUTI PERATURAN PERMAINAN INI!!"

"DAN AKU TIDAK PEDULI SAMA SEPERTI APA YANG MEREKA LAKUKAN TERHADAP YELIN!!" bentak Yudha balik. Malahan niatku untuk membalasnya harus terhenti saat nama Yelin kembali terlontar. Kenapa? Apa hubungannya Yudha dengan Yelin? Kenapa dia bisa tahu Yelin?

Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam kepalaku. Lebih dulu Yudha tertawa, tawa yang mengejek dan merendahkan.

"Terkejut? Untuk kedua kalinya?" tanya Yudha santai.

"Bagaimana kau bisa tahu tentang Yelin?" Aku berusaha untuk lebih hati-hati lagi. Apalagi Sua sudah seperti mahkluk tak kasat mata di belakang tubuhku. Hanya deru napasnya yang samar-samar meniup tengkuk. Dia pasti ketakutan. Dan aku berusaha untuk jadi berani.

"Kau mau tahu kenapa aku bisa mengenal seorang Yelin?" tanya Yudha lebih ke memastikan semuanya, yang pastinya akan membuatku memecahkan siapa-siapa bayang-bayang dibalik layar ini. Mereka-mereka yang terlibat.

"Yelin adalah gadis lugu yang begitu aku sukai sejak lama dan aku bahkan belum menyatakan sukanya saat waktu terakhir dia pulang sekolah dengan seragam kotornya karena ulah siswa tolol di sini. Ada saat aku berhasil menahannya yang hendak menyerahkan hidupnya dengan menabrakkan diri pada kendaraan yang melaju di jalan. Aku berhasil dan Yelin mengenalku .... Ah, ini akan jadi cerita yang membosankan. Kau yakin ingin tahu hari-hariku mengenal Yelin yang tak berdosa itu?" tanya Yudha sukses menyadarkanku dalam kenangan tak tergambar jelas bagaimana seorang Yudha yang ternyata menyukai Yelin. Sesingkat itu. Tanpa bisa kutebak orang seperti apa Yudha. Pandanganku berubah total. Simbang mungkin. Meskipun tentu saja dihadapanku saati ini adalah seorang pembunuh. Bisa saja Yudha tengah mengarang cerita itu untuk mengelabuiku dan masuk dalam jebakannya.

"Diam. Berarti kau ingin tahu semuanya, 'kan? Permainan ini tentunya? Baiklah. Seperti yang kau tahu, Yelin bukan siapa-siapa di sini. Siswi yang tidak tenar akan prestasi atau kekayaannya hingga bisa masuk kelas favorit. Tapi menjadi bahan rundungan favorit siswa-siswi sampai dia meregang nyawa. Sampai sini, kau tahu artinya. Orang-orang yang mencintainya merasa kehilangan, termasuk diriku. Dan semuanya bertambah hancur saat kedua orang tuanya ikut meregang nyawa setelah itu. Dan-"

"Dan ini adalah acara balas dendam kalian. Pak Hadiswa yang ternyata Kakak dari Yelin, Paman Sit juga dan kau." Aku menjawab semuanya sebelum kenyataan paling pahit Yudha beberkan lagi.

"Tepat!" seru Yudha riang. "Kau ternyata cukup pintar Aria. Pantas saja kau selalu terlihat paling menarik di kelas." Sebelah mata Yudha mengedip. "Aku menyukaimu," ucapnya lagi. Sontak saja membuatku merasakan untuk pertama kalinya apa itu merinding dengan kalimat seperti itu.

"Cukup Yudha. Aku tidak mau melanjutkan permainan ini. Sudah cukup pertumpahan darah ini."

"Kata siapa? Aturannya, kalian semua harus mati!" serunya dengan nada membara. Jika saja aku harus menggambarkan betapa membaranya sorot mata Yudha sekarang. Haus akan nyawa yang lainnya. Tak berselang lama, satu tangan Yudha telah memamerkan sebilah pisau bergerigi dari balik tubuhnya. Sepertinya dia menyelipkan benda dingin itu di pinggangnya. Dan kini benda mematikan itu menari-nari di tangan Yudha. "Mari kita selesaikan. Aku sudah berjanji kepada Hadiswa akan menuntaskan ini dan memberikan mimpi buruk untuk reputasi sekolah sialan ini!"

"Itu tidak akan terjadi! Kau harus sadar Yudha! Apa yang kau lakukan saat ini!" seruku setengah membentak. Akan tetapi Yudha malah tertawa sumbang. "Tentu saja aku sadar .... Sadar karena seharusnya kalian mati sebagai yang terakhir!" Yudha melangkah cepat ke araku dan Sua. Dengan binar kesenangan serta pisau itu mengkilat.

Tak banyak waktu untukku berlari sebelum Yudha sempat menangkap kami. Sua dan aku harus kembali merasakan yang namanya saat-saat dikejar kematian.

Lorong lobi yang pendek serta satu buah tikungan menuju toilet guru menjadi langkah yang kutempuh bersama Sua. Suara langkah kami berdua menggema, jangan lupakan suara tawa Yudha yang mengejar kami dari belakang.

"Sial!" sungutku saat tikungan toilet itu memiliki pagar besi hitam yang dikunci. Sua menggebrak pagar berkali-kali sampai tangannya tergores oleh bagian tajam dari pagar, kemudian memaki dengan nada frusterasi. "Brengsek! Brengsek! Kenapa jalannya harus buntu! Di mana kuncinya!" jerit Sua masih memukul rantai yang meliliti pegangan pagar.

"Tidak ada kunci di sini!" dengusku sambil mencari-cari sampai tong sampah yang berada di dekat pintu toilet guru, memuntahkan isinya.

"Apa yang harus kita lakukan?" Tepat perkataan Sua barusan bersamaan dengan Yudha sampai di tempat kami saat ini. Dia tidak terlihat lelah setelah mengejar kami. Bahkan tawanya masih terdengar keluar dari bibirnya.

"Oh, astaga. Sampai sini main-mainnya ya," ucap Yudha sambil memamerkan pisau itu ke arahku dan Sua. "Aku berjanji ini tidak akan lama. Aku ingin cepat-cepat memenangkan permainan ini bagaimana pun juga."

"Jangan! Kumohon, kau tidak bisa melakukan ini Yudha. Polisi tidak akan tinggal diam dan kau akan diberi hukuman mati!" jerit Sua menunjuk tepat ke arah Yudha, meskipun tubuhnya bergetar hebat karena takut.

"Tidak apa-apa. Asalkan balas dendam ini tuntas. Aku tidak peduli dengan hidupku lagi. Jadi ... bersiaplah menuju kematianmu!" Yudha melangkah dengan bengis.

Sua dengan cepat memelukku dan memjamkan matanya takut-takut. Air matanya turun lagi dan sepertinya membuatku ikut melakukan hal yang sama. Jika mungkin, aku harus mati sekarang. Meninggalkan Ibuku sendirian. Apa setelah aku mati Ibu akan merasa kehilangan? Sama seperti perasaan matiku untuk Ayahku yang pergi.

Aku memejamkan mata dan membalas pelukkan Sua tak kalah erat. Semuanya berubah gelap dan dengan rasa takut yang perlahan merayapi seluruh tubuh seperti akar-akar pohon dingin menjerat kami berdua. Aku bisa mendengar suara langkah Yudha mendekati kami perlahan.

Selamat tinggal, Ibu, bisikku sebelum suara lain datang menyeruak dan benturan kasar serta suasana bising terjadi.

****




Perhatian!

Halo? Apa kabar lapak ini setelah ditinggal beberapa bulan.
Oya, sesuai janji saya dulu tentang part tambahan .... Yap, saya sedang membuat part-part tambahan untuk cerita ini. Dan kejutan ynang lebih mendebarkan akan hadir!

Jadi, jangan lupa untuk tetap pantau terus lapak ini ya!!

Luv you!

Kang Zee

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang