| Chapter 2 | : Rain Drop

141 46 7
                                    

Isi kepalaku masih saja bergulir tanpa sadar tungkai kakiku sudah berada di depan mading sekolah. Dinding Tata Usaha yang kosong dan lebar diubah menjadi tempat mading yang masih bersatu dengan mading alumni dulu namun bisa dengan mudah orang lain membedakan rajin dan tidaknya siswa-siswi yang dulu dan sekarang. Untaian kata-kata dan kalimat bijak yang tertulis dengan kertas warna-warni serta diberi glitter kuning dan putih mencolok di mataku. Kertas-kertas berisi bait-bait puisi, pantun jenaka serta cerita pendek saling tumpang tindih, bahkan ada yang terlihat setengahnya saja. Bisa ditebak bagaimana anak-anak dari bulan bahasa dan kreatifitas mereka yang sedikit aneh. Mading terlihat seperti dipenuhi sampah yang ditempel sembarangan di sana-sini.

"Belum pulang?"

Aku hampir saja berjingkrak karena saking terkejutnya dengan suara barusan. Pandanganku mengedar ke arah sumber suara. Seorang pria berkaca mata kotak putih dengan gagang transparan berdiri beberapa langkah dari mana aku berdiri. Senyum dengan keriput di sudut mata itu adalah ciri khasnya. "Pak Hadiswa," kataku sambil mengelus dada pelan. Benar rasanya seperti detak jantungmu berhenti beberapa detik.

Pria yang menjabat sebagai wali kelas 12-A itu memang menjadi favorit beberapa siswa di sekolah ini. Selain memiliki senyum yang menawan dan tutur kata yang lembut. Dia juga sampai saat ini, belum dikabarkan menikah atau setidaknya memiliki kedekatan dengan gadis yang setara dengannya. Pak Hadiswa adalah guru termuda di sekolah dan sekaligus guru terbaik yang menang dalam pemilihan guru terfavorit tahun lalu. Dia memiliki tubuh yang bagus dalam artian berisi dan berotot, bugar, kulitnya terawat bisa dilihat Dari leher dan lengannya yang sewaktu-waktu lengan kemeja biru muda itu digulung.

"Sebentar lagi hujan?"

Aku kembali terenyak ketika Pak Hadiswa berbicara dan sedikit bergumam di akhir. Sekilas aku melihat raut wajahnya yang agak muram. Jarang sekali melihat pria yang selalu tersenyum hangat itu memiliki ekspresi seperti itu.

Aku mengatur letak tali tas punggungku sambil berujar, "Iya, mungkin terpaksa harus menerobos hujan."

Satu alisnya terangkat bersama dua lengannya menyilang di dada. Saat itu juga aku bisa melihat lengannya yang terbebas dari balutan lengan kemeja. Kulit putih bersih dengan untaian urat-urat yang pasti membuat gadis-gadis berpikiran kotor di luar sana menelan air ludahnya susah payah.

"Kau bisa sakit. Bukannya minggu ini waktu semakin harus dimanfaatkan sebaik mungkin."

Aku mengangguk. "Ujian akhir semester."

"Kau harus menjaga kesehatan sampai hari UAS berlangsung." Aku hanya menunduk mendengarkan perkataannya. Hingga saat dia bilang, "Tunggu di sini sebentar." Kepalaku terangkat, melihat tubuh pria yang tingginya hampir mencapai dua meter itu melangkah pergi. Sementara aku mematung seperti orang bodoh. Rintik hujan mulai berjatuhan. Suara genteng yang tertimpa tetes-tetes hujan membuatku mengedarkan pandangan sekali lagi. Mengamati suasana sekolah yang sangat sepi senyap dan menyeramkan jika dilihat di saat seperti ini.

"Pakai ini."

Aku menoleh ke Pak Hadiswa yang telah berdiri dengan jarak dua meter lebih dariku. Satu tangannya terulur memegang payung yang masih terlipat rapi.

"Kau bisa pakai payung ini," katanya lagi. Aku segera mengucapkan terima kasih dan pria ramah itu melangkah pergi. Meninggalkanku bersama dengan payung berwarna hitam pekat yang kupegang sekarang.

Ah, ya. Benar, aku memang harus pulang.

Langkah kakiku seolah bergema di lantai koridor sekolah. Melewati kelas demi kelas yang sepenuhnya kosong. Lantai yang terasa lembab dan licin, hembusan angin yang membawa rintik-rintik hujan membuat seragam sekolahku terasa lebih dingin dan sama lembabnya.

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang