"Apa listrik akan mati lagi?"
Aku menoleh ke arah Euna yang berjalan di sampingku. Dia menatap langit sebentar, kemudian pandangannya turun pada jalan kompleks yang buruk rupa.
"Semoga saja tidak? Ibuku pasti kembali mengomel. Kau tahu barang-barang di rumah seperti tidak berguna jika listrik mati." Euna tersenyum pahit, sepertinya kompleksnya juga sama sepertiku. Jika hujan datang cukup deras ditambah angin maka tidak akan lama lampu di rumah bisa menyala.
Euna tinggal di kompleks berbeda denganku. Akan tetapi penderitaan kami sama saja. Hanya beda letak rumah dan selebihnya sama saja. Malahan kupikir kompleks perumahan yang Euna tinggali lebih sering mati listrik.
"Aria ...." Aku menoleh mendengar Euna memanggil namaku. "Ada apa?" Langkah kami memelan saat kupikir kami berdua akan terlarut dalam obrolan seperti biasa. Namun, sepertinya suasana hati Euna sedang baik. Dia tersenyum saat kulihat lagi.
"Apa kau ingat saat pertemuan pertama kali kita pada kelas pertama?" tanyanya yang langsung membuatku mengenang masa-masa kami mengenal satu sama lain dengan canggung.
"Tentu saja, aku masih ingat saat rambutmu diikat dua itu." Euna terkikik lalu mencubit pinggangku dengan gemas. "Hei, jangan ingat bagian yang itu."
"Tapi sungguhan, kau terlihat manis waktu itu," sanggahku menghindar dari cubitan Euna lainnya.
"Aku terlihat cupu tahu, itu model yang Ibuku berikan dari kecil. Tanduk kambing katanya." Aku tertawa renyah, menggelitik sekali mengingat wajah mungil Euna dan dua ikat rambutnya yang letaknya begitu tinggi hingga aku pikir itu adalah tanduk.
"Tetap saja, aku suka dan perlahan tertarik untuk menjadi temanmu ya, kan," kataku sambil mencubit keras-keras pipi kenyalnya hingga menarik setengah bibirnya ke samping. Euna merenggut sambil menjauhkan wajahnya. Menepis kesal tanganku yang hendak melakukannya lagi.
"Bukan karena kau melihat Ayahku memukuliku waktu itu?" tanya Euna sambil mengusap sebelah pipinya yang memerah padam.
"Tentu saja bukan." Jawabanku mungin benar, tapi juga tidak dalam artian begini saja, ketika kau melihat anak perempuan yang baru saja lulus sekolah menengah pertama dipukuli oleh Ayahnya yang mabuk di pinggir jalan kompleks dan ditonton oleh penghuni lain, tanpa ada yang mau membantu Euna saat itu.
Aku mengingat menarik tangan kecil Euna pada saat itu dan membawanya ke rumahku. Lebam, bekas tamparan dan isak tangisnya semalaman mengisi rumahku dan Ibuku juga ikut menjaga anak perempuan yang malang ini. Bahkan aku masih sangat ingat ucapan kasar Ayah Euna yang brengsek itu melihatku membawa putrinya pergi. Dia sinting, si tua bangka yang suka menegak minuman setan dan penjudi. Aku merasa ngeri jika Ayahku yang lenyap dari dunia seperti Ayah Euna dan juga bagaimana bisa Ibu Euna bertahan tinggal dengan pria bejat itu.
"Jangan berbohong Aria. Aku mengingat itu baik-baik. Aku masih mengenang saat kau datang seperti pahlawan waktu itu." Euna tertawa ringkas lalu merangkul bahuku yang lebih tinggi darinya. "Jika kau laki-laki saat itu, aku pasti akan mengejarmu untuk menikahiku." Euna mengerucutkan bibirnya ke arah wajahku. "Dan juga meminta ciuman." Aku segera menyentil bibir Euna yang hendak mencium pipiku. Dia mengaduh dan mengusap bibirnya.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh!" seruku setengah geli.
Kami tertawa lalu melanjutkan langkah kami dalam diam beberapa saat. Sebelum Euna kembali membuka pembicaraan saat kompkels perumahan kami tidak jauh di depan sana. Dua arah jalan yang berbeda menunggu kami. Hanya jalan kami saja seperti siput. "Aku ingin kita bersama selamanya Aria." Euna menunduk tanpa melepaskan genggaman tanganya sejak kami meninggalkan sekolah dan dia memelukku.
"Kenapa tidak? Kita bisa berteman sampai tua dan aku ingin sekali melihatmu memiliki kekasih," kataku sontak membuat Euna tertawa geli. "Ya, aku harap orang yang kusukai itu tahu perasaanku?" kata Euna malu-malu. Sontak membuatku menggodanya. "Siapa orang yang kau sukai? Ah, aku jadi penasaran."
Euna menepuk bahuku beberapa kali. "Jangan bahas itu! Aku jadi terlihat menyedihkan tahu!"
"Ayo katakan siapa? Aku mungkin bisa membantumu menyeret laki-laki yang kau sukai itu agar bertekuk lutut padamu." Lagi-lagi Euna tertawa, kali ini cukup keras. Aku menatapnya dengan penasaran yang besar. "Siapa? Katakan padaku siapa orangnya?"
Awalnya Euna menolak dan menyembunyikan rona malu-malu dengan gerakan tangan tanda menolak lagi. Tapi karena aku orang yang pemaksa, jadinya aku berhasil membuat Euna menyerah dan menatapku dengan raut setengah serius.
"Aku akan merahasiakannya bahkan dari tikus di bawah gorong-gorong ...." Euna malah memberikan jari kelingkingnya yang mungil padaku. "Janji? Jangan bilang pada siapa-siapa atau pun pada orangnya." Aku mengangguk antusias, segera mengaitkan jari kami berdua.
Euna mulai berbicara dengan nada pelan setelah jari kami terlepas begitu saja. Janji telah disepakati.
"Sebenarnya ini sudah lama, aku terpaksa menahannya saja dan melihatnya dari jauh. Jika aku dekat maka aku akan bingung mau mulai bicara apa di depannya."
Aku mendengarkan baik-baik dan Euna pun menarik napas sebelum mengatakan siapa orangnya padaku.
"Dia ... Galan. Aku menyukainya."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SCREAM : Whos Next? ✔
Mystery / Thriller🎖 Ambassador's Pick Valentine oleh AmbassadorsID 🎖 The Best Choice's Recommendation Novel with TWT & Asra Publisher 🎖 Masuk dalam Reading List di @WattpadYoungAdultID untuk kategori Red & Dark Place © KANG ZEE present • (#) GIRL'S IN THE NIGHTM...