| Chapter 19 | : Day 2 - The Main Night

64 25 4
                                    

"Kau harus pulang Galan ...."

Kedua mata Galan membulat menatap ke arahku. Memancarkan ketikaksetujuan terhadap ucapanku barusan. Padahal aku sendiri tahu jika Galan sungguh membenci Lukas.

"Itu tidak akan pernah terjadi Aria. Kau sengaja berpura-pura tidak tahu kalau aku membenci Lukas!" Galan menatapku nyalang.

"Tapi mau bagaimana lagi. Lukas tetaplah Kakakmu-"

"Aku tidak pernah memiliki Kakak dan sampai kapan pun ... Lukas tidak akan pernah menempati posisi itu," tekan Galan dengan raut emosi.

Aku menghela napas gusar, menatap Galan yang tengah berseteru dengan egonya.

"Paman Lu tetap menyayangi Lukas, kau tahu itu? Dia selalu menunggu Lukas pulang dan menjadi anak yang Paman Lu inginkan ...."

Galan menatapku dengan gemetar di bola matanya. "Dan aku tidak pernah bisa menjadi yang paling diinginkan oleh keluargaku," tambahnya. Raut kecewa Galan sontak membuatku sadar akan posisi Galan yang mencari kasih sayang yang tidak dia miliki akan tetapi Lukas seolah miliki semuanya.

"Kau harus pulang Galan ... sebenci apa pun kau pada Lukas. Aku tidak tahu rasanya memiliki Kakak, jadi jika aku mungkin berada di posisimu sekarang. Mungkin aku akan memaafkan semua yang terjadi dan memulai lagi dari awal."

Galan mendengkus dengan senyum pahit. "Kau berpihak pada Lukas. Dan membiarkanku sendirian? Aria? Kau memilih Lukas?"

"Bukan begitu Galan .... Aku-"

"Iya aku tahu maksudmu .... Jadi seharusnya aku tahu diri sekarang. Baiklah seperti maumu. Aku akan kembali dan melupakan semuanya seolah tidak terjadi apa-apa, begitukan?"

Tidak! Bukan begitu Galan. Aku ingin menyangkal apa yang Galan tangkap dari ucapanku. Karena Galan pikir menjadi menyedihkan dan berpura-pura seolah tidak ada yang perlu dipikirkan.

"Aku pergi." Galan melangkah tanpa menengok kembali. Melewati jalan ke belakang gedung sekolah yang sepi.

Sementara aku mematung di tempatku tanpa bisa berbuat apa-apa selain merutuki apa yang aku lakukan kepada Galan barusan.

Mungkin aku salah mengatakan itu kepadanya. Aku tahu bagaimana Galan menyikapi Lukas selama ini. Dia diam karena belum saatnya untuk memberontak. Galan patuh dan melakukan segalanya agar bayang-bayang Lukas di keluarganya dapat terganti dengan kehadirannya.

Akan tetapi semuanya seperti tidak ada apa-apanya untuk Galan.

Lukas pintar dan berprestasi saat di sekolah meskipun beranjak dewasa dia menjadi liar. Sementara Galan yang pemalas dan ranking di kelas pun selalu berada kedua di terakhir.

Mungkin selama ini, Paman Lu menginginkan anak seperti Lukas bukan Galan yang gagal.

Suara bel berbunyi membuatku tersadar jika waktu belajar sudah habis. Tanpa babibu lagi aku mengejar langkahku meskipun dari jauh aku melihat Pak Hadiswa keluar dari kelas di susul siswa-siswi lain.

*

"Kau ke mana saja Aria? Sepertinya lama sekali kau pergi ke toilet?" Euna ikut membereskan buku-buku di atas mejaku dan setelah semuanya beres, kami berjalan bersisian keluar dari kelas.

"Ahh, tadi perutku mulas sekali, jadi ... tidak bisa kembali cepat ke kelas." Euna mengangguk yakin dengan ucapanku. Sementara aku sendiri malah kembali kepikiran soal Galan.

"Oh, tadi Pak Hadiswa meminta semua murid mengumpulkan ponsel."

"Hah? Apa? Ponsel?" Aku mengeryit keheranan.

"Iya, katanya ponsel mengganggu pembelajaran les. Jadi, mau tak mau semua anak memberikan ponsel mereka kepada Kika."

Kika siswi 12-A yang menjabat sebagai wakil ketua kelas dan pernah menjadi ketua dalam regu KIR sekolah itu. Tapi untungnya aku tidak memiliki ponsel. Aku tidak menyukainya meskipun beberapa tahun lalu aku menginginkan benda itu.

"Apa yang akan kita lakukan di asrama nanti?" tanya Euna saat langkah kami pacu menuju asrama.

"Menghitung semut? Ide bagus?" Euna menggerutu kecil dengan rencana konyolku.

"Ah, malam ini pasti akan panjang." Aku menatap Euna dengan heran. "Kita bisa lalui ini bersama, Euna."

Kami berjalan menunju asrama bersama siswa-siswi lain. Pembelajaran sampai sore pasti belumlah cukup. Hingga sampai asrama aku dan Euna segera menjatuhkan diri di atas kasur. Menikmanti setengah empuk tekstur kasurku. Sementara Luda masih sibuk berkutat dengan buku-buku di tangannya.

Malam perlahan mulai menyapa, sorak-sorak suara dari asrama laki-laki lenyap, mungkin mereka tidur. Aku pun merasakan kantuk, sementara Euna telah terlelap di kasur atas. Luda juga ikut naik ke ranjangnya, tentu saja dia membawa bukunya ke mimpinya itu.

Di saat mataku mulai mengantuk dan bersiap menuju alam mimpi tiba-tian suara lengkingan berasal dari pengeras suara memekik indera pendengarku. Awalnya aku terkejut, begitu pun Euna dan Luda terusik dengan suara itu. Tapi kemudian suara lengkingan itu lenyap.

Mungkin ada perbaikan untuk pengeras suara sekolah ini. Selain jarang dipakai, pengeras suara juga ada banyak yang rusak. Hampir di setiap semua ruangan, pengeras suara itu akan terpasang manis di pojok ruangan-ruangan kelas dan lainnya.

Tapi tetap saja aneh jika pengeras suara itu diperbaiki di malam begini. Karena sangat mengganggu tidur para siswa-siswi di asrama.

Aku berniat tidur kembali sebelum samar-samar suara pengeras suara hidup kembali. Tapi kali ini bukan suara lengkingan panjang yang menyakiti rongga telinga. Akan tetapi isak tangis dan desahan kesakitan. Sontak aku terbangun dari tidurku mendengar baik-baik suara tangis yang semakin jelas itu.

"Apa itu? Siapa yang menangis malam-malam?" Luda ikut kebingungan. Euna bangun dan memeluk bantalnya erat-erat.

"Aku tidak-"

"AAAAAAAA!!"

Kami berempat hampir saja meloncat dari kasur ketika jeritan itu berseru begitu melengking. Itu suara perempuan yang tengah kesakitan.

"Tolong ...! Tolong aku! Jangan! Jangan bunuh aku, ku mohon! AAAAA!!"

Suara ribut ternyata bukan di dalam kamar kami saja, akan tetapi di kamar lain. Suasana berubah ribut tatkala siswa laki-laki berhamburan keluar dari asrama. Begitu pun dengan kami siswi perempuam yang ikut keluar dari asrama.

"Ayo Euna kita lihat," kataku sambil menarik tangan Euna tapi sang empunya menolak. "Aku takut Aria, itu pasti pembunuh yang membunuh Iren dan mengincar kita semua di sini."

Luda yang ikut mendengar penuturan Euna sontak ikut panik termasuk gadis dari 12-C di sampingnya.

"Selamat malam semuanya!"

Jeritan itu berganti dengan sapaan dari suara yang begitu berat dan kasar. Pembunuh itu menyamarkan suaranya, batinku.

Kami semua dengan penuh ketakutan dan kebingungan hanya bisa menunggu suara itu muncul kembali dari pengeras suara, meskipun malam belum larut akan tetapi suasana sudah tidak baik untuk berlarian menyelamatkan diri. Karena mungkin pembunuh itu mengincar kami semua.

Tak lama suara berat itu kembali terdengar.

"Baiklah, untuk mempersingkat waktu. Mari kita mulai permainan malam ini dan cobalah untuk bertahan ...."

*****

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang