| Chapter 16 | : You [N]ever Come Again

67 28 4
                                    

"Apa yang akan kau bawa besok?" Ibu membuka isi tasku dan menatap isinya yang telah penuh dengan beberapa lembar pakaian, alat mandi, alat tulis tambahan, dompet dan hal yang menurutku penting.

"Cuma ini?" Ibuku menatap sedikit tak percaya dengan barang-barang yang akan aku bawa besok ke sekolah. Tubuhku yang sejam yang lalu sengaja dibaringkan pada sofa ruang tamu yang sempit, aku segera bangkit, mendudukan bokong dengan punggung menyandar ke kepala sofa. Menatap Ibuku yang sepertinya tengah menghitung berapa banyak lembar pakaian yang ada di dalam tasku.

"Iya. Harus ditambah yang mana lagi?"

"Kaus kaki, selimut atau bantal bulu kesukaanmu!" Aku menghela napas lelah mendengar usulan dari Ibuku. "Aku bukan anak sepuluh tahun yang akan pergi piknik, Ma."

"Lantas? Kau kan tidak kuat jika kedinginan. Bagaimana nanti jika di asrama udaranya seperti di gunung?"

"Tidak mungkin Ma, asrama ya asrama."

Ibu berdecak sebal, "Jangan pernah menyesal kalau nanti tidak mendengarkan apa yang Ibu bilang."

Aku memutar bola mata sebal sambil menatap layar televisi yang menyiarkan siaran kartun kuno. Tidak lucu sama sekali, kecuali adegan kekerasan di mana Si A memukul hingga menginjak tubuh Si B yang lebih kecil hingga tak berbentuk. Ah, siaran yang benar-benar buruk untuk ditonton oleh anak-anak labil.

"Pokoknya kaus kaki dan jaketmu harus ada, harus!" Aku ingin menyela karena jika memasukan jaket ke dalam tas yang ukurannya saja sudah membengkak tak karuan. Apalagi ditambah jaket dan sepasang kaus kaki. Untuk kaus kaki tidak masalah kecuali Ibu memasukan hampir tiga pasang kaus kaki ke dalam tas. "Apa itu tidak berlebihan?"

"Hei, kaus kaki gampang bau. Bagaimana nanti teman sekamarmu mencium kaus kakimu yang bau? Mereka pasti tidak akan nyaman dengan itu."

Oke, sampai sini aku akan diam dan membiarkan Ibuku berceloteh tentang kaus kaki dan jaket mana pun sesukanya. Biarlah tasku menjadi semacam koper dadakan. Sepertinya jika Galan melihat tasku, dia akan bilang 'kau mau pindahan ya?' dan memikirkannya saja membuatku meringis.

"Aria," panggil Ibuku. Aku menatapnya dengan wajah kesal. Tuhkan rupa tasku menjadi seperti kantung pembuangan. Ibu melangkah pelan setelah membereskan tas dan meletakannya di atas meja. Ibu duduk di sofa tunggal. Mengusap kedua tangannya, bersiap mengatakan kalimat yang sebentar lagi akan diutarakannya padaku.

"Ibu hanya ingin kau menjadi dirimu sendiri. Masa depanmu bisa kau cari sendiri dan ... dan Ibu pasti akan membantumu, jadi harapan Ibu hanya satu ...." Mengeluarkan sesuatu dari saku pakaiannya. Lalu meletakan benda yang ada di dalam cengkeraman tangannya ke atas meja tepat di depanku. Suara benturan kecil, antara meja kaca dan benda yang aku yakin berbahan logam.

Aku melihat sebuah kalung berliontin lonjong. Berkilau singkat terkena cahaya, itu kalung berbandul logam. "Apa itu?" tanyaku tanpa berniat menyentuh liontin itu.

Ibu tersenyum haru, satu tangannya menekan pinggiran lonjong liontin tersebut dan benda itu terbelah menjadi dua. Saat itu pula aku bisa melihat isi dari benda lonjong itu. Sebuah foto hitam putih menampakan seorang pria berambut cepal yang disisir rapi. Pakaian semacam tuxedo hitam dan senyumannya membuatku teringat akan seseorang yang selama ini aku tunggu dan sosok itu tak pernah kembali melihatnya.

"Dia Ayahmu," kata Ibu tanpa berniat mengatakan nama yang sebenarnya di miliki oleh pria tersebut.

Seperti ada hantaman keras di dada. Aku menatap foto pria itu dari tempatku sekarang. Pria itu adalah Ayahku .... Orang yang aku harapkan ke rumah setiap malam. Orang yang aku tunggu kedatangannya. Orang yang satu-satunya yang aku ingat saat hujan turun. Ibuku bilang Ayah pergi saat hujan turun begitu lebat.

Dan dia tidak pernah kembali sampai sekarang.

Aku menunggunya sampai musim terus saja berganti. Menggenggam harapan kosong malah membuat sikapku menjadi membosankan di mata orang lain. Apa yang kuharapkan dari semua ini? Ayahku mungkin telah hilang ditelan bumi. Tak ada jejaknya di rumah ini. Pakaian, foto pernikahannya dengan Ibu atau bau parfume yang kadang membuatku tahu kedatangannya.

"Untuk apa Ibu tunjukan itu padaku?" Aku tak ada rasa sedikit pun untuk menyambar benda itu dan menangis tersedu-sedu dengan bisikan kata rindu. Aku telah bosan dan muak menjadi gadis yang dipandang lemah hanya karena tak pernah bertemu dengan Ayahnya.

Ibu mengusap air matanya yang hendak jatuh. Aku baru sadar jika Ibu menangis tanpa suara. Pakaian katun yang digunakannya tampak kerisut jika dilihat sedekat ini.

Selama ini mungkin bukan hanya aku saja yang mengharapkan kedatangan seorang yang ada di foto itu. Tapi Ibu ... ya Ibu mungkin memiliki harapan yang jauh lebih besar dariku. Meskipun selama ini dia seolah menganggap Ayah tidak ada. Ingatanku yang saat itu baru enam tahun, hanya suara-suara bantingan barang-barang dan tangisan Ibu dalam keremangan senja yang mendung. Saat aku melihat dengan bola mataku yang masih teramat mungil. Siluet hitam pria yang menarik koper hitam hingga sampai di depan pintu keluar. Sementara Ibu menangis di pojok ruangan. Mungkin saat itu aku hanya bocah polos yang melihat Ayahnya hengkang dari rumah. Suara pintu dibanting dan aku ingat saat sosok itu menatapku sekilas tanpa ada arti kasih sayang, seolah dia membenciku sudah terlahir di dunia ini. Kemudian sosok itu berlalu pergi bersamaan dengan hujan turun begitu lebat.

Dan sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya kembali.

Tidak pernah.

Aku segera mengusir ingatan itu saat merasuk ke dalam kepalaku. Ibu menatapku dengan matanya yang basah. Aku mendengkus, bangkit dan melangkah meninggalkan ruang tamu sebelum Ibu mencegahku dengan suara seraknya.

"Ibu hanya ingin kau baik-baik saja di mana pun kau berada nanti. Tetap jadi dirimu sendiri dan jangan sia-siakan orang yang peduli padamu, Aria. Kau dengar itu kan ...."

Aku mengepalkan tanganku tanpa berniat berbalik atau menjawab ucapan Ibu. Akan tetapi yang diucapkannya barusan membuatku sadar.

Aku sudah tidak perlu menunggu lagi.

*****

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang