| Chapter 3 | : Nightmare Surprise

102 39 8
                                    

Pagi menjelma meskipun mendung masih menggantung di langit. Memberikan tanda bahwa hari ini akan sama seperti hari-hari kemarin. Hujan turun, embusan angin yang seolah mampu membekukan lubang pori-pori kulit beserta suara guntur yang menyambar sesekali. Semalam mungkin yang terparah, selain blok perumahanku dilanda mati lampu. Ibuku pulang lebih larut dan menemukan putrinya bergulung dengan selimut di sofa ruang tengah.

Ibu panik sendiri, dia meraba keningku yang panas dan mengoceh tentang kecerobohanku yang suka pulang terlambat hingga bermandikan air hujan. Ibuku tahu jika tubuh putri satu-satunya ini tidak bersahabat dengan air hujan. Artinya aku akan gampang sekali sakit dan biasanya diserang demam semalaman.

Dan itu yang terjadi semalaman padaku. Demam yang menambah pening di kepalaku. Tumpukan buku di meja yang seperti melambai padaku, menunggu untuk dibuka dan dibaca. UAS sebentar lagi. Kelas 12 akan menghadapi masa-masa harus berada di sekolah hingga larut malam atau dengan kata lain tinggal sementara di sekolah. Demi mendapat pembelajaran yang lebih kompleks. Tapi yang kutahu itu akan malah membuat semua siswa seperti gelandangan yang tidak memiliki rumah. Malahan mungkin menjadi waktu yang pas untuk sepasang kekasih bertemu.

"Makan sarapannya, Aria!" seru Ibuku saat setengah bubur tanpa toping menggiurkan belum habis dalam mangkuk mungil polos yang berada di depanku saat ini. Meja makan kayu tua dan dua kursi, salah satu kursinya tengah kududuki. Sementara Ibu dengan cekatan meletakan segelas cairan putih bersih berbau khas, segelas susu hangat.

"Akhir-akhir ini makanmu semakin sedikit. Ibu tidak mau kau sakit lagi. Jadi, habiskan makanannya."

Aku merenggut sambil mengaduk sendok dalam bubur. Irisan bawang yang digoreng membuat hidungku gatal. Rasa hambar, sedikit asin dan rasa manis gurih kecap sama sekali tidak membuat niatku untuk kembali menyuap itu hadir. Segera tanganku mendorong mangkuk bubur itu menjauh. Memaksakan betapa lembeknya bubur di dalam mulutku sekarang, menelannya dengan raut tidak bersahabat. Aku benci bubur!

Saat Ibuku pergi ke sofa karena suara dering ponselnya menarik perhatiannya. Kesempatan! pikirku. Aku meraih gelas susu dan meneguknya setengah. Menarik tas ransel dan bangkit dari kursi. Berlari-lari kecil menuju pintu keluar. Bersamaan saat Ibuku berseru dan menanyakan apa aku menghabiskan sarapanku. Aku mengatakan "sudah," dan segera keluar dari rumah. Biarlah Ibuku kesal sendiri ketika dia sadar baru saja dibohongi lagi oleh putrinya. Toh, demamku juga sudah agak membaik. Peningnya sedikit berkurang meskipun rasa sakitnya akan kembali muncul saat berlari seperti tadi.

Perjalanan menuju sekolah bisa ditempuh kurang dari sejam. Kompleks perumahan yang aku dan Ibuku tempati cukup sederhana. Jauh dari kesan mewah atau dihuni oleh sekumpulan orang kaya. Jalan kompleks yang mengkhawatirkan karena aspal-aspal mulai terbawa arus air atau menjadi cekungan dan berubah menjadi semacam genangan air hujan kotor.

Ketika sebuah benda kecil terasa menubruk betisku. Benda yang begitu padat dan keras, dapat kupastikan itu adalah kerikil aspal. Aku segera membalikkan badan dan menatap ulah siapa barusan.

Dari jarak delapan meteran, Galan tersenyum begitu lebar. Mengekspos dua baris giginya yang putih dan tertata rapi. Satu tangannya melambai tengil. "Pagi, Ari-Ariku!"

Mendengar nama panggilan baru dari Galan, aku memutar bola mata malas. Memang Galan salah satu orang yang suka sekali memanggil namaku dengan sebutan aneh. Dan itu pasti berganti setiap hari.

Galan berjalan cukup cepat ke arahku. Lalu kami bersisihan melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah.

"Apa akan turun hujan lagi?"

"Mungkin, tapi aku benci harus gelap-gelapan lagi setiap malam." Aku mengingat malam-malam tanpa adanya aliran listrik.

Galan terkekeh sambil berujar,"Ya, itu adalah penyakit setiap kompleks miskin."

Dengusan sebal keluar dari bibirku saat itu juga. Memang beruntung bagi kompleks perumahan yang lebih elit dan berpunya. Mereka mungkin tidak pernah merasakan rasanya tidur dalam kegelapan dan dinginnya hujan.

"Ah, bagaimana menurutmu tentang siswi bernama Monik itu?"

"Monik? 12 ... C?" Aku tidak yakin dengan nama yang barusan disebutkan oleh Galan. Monik, si gadis bermata kodok itu? Dia terkenal memiliki sepasang mata yang bulat dan besar.

Galan terkekeh sambil menutup bibirnya dengan kepalan tangan. Matanya yang memang sipit itu menyipit menatap penuh minat ke arahku. Seolah banyak arti yang tersembunyi di sana. Tubuhnya tiba-tiba condong ke arahku dan tepat ke telingaku, dia membisikan, "Aku lihat ... dadanya cukup berisi akhir-akhir ini." Perkataan Galan yang sangat frontal barusan sontak membuat kedua tanganku memukul bertubi-tubi lengan dan dadanya dengan marah. Menjijikan mendengar kalimat itu keluar dari mulut laki-laki.

"Tutup mulutmu atau katakan selamat tinggal untuk bahan ujianmu nanti!" Aku melangkah cepat, setengah berlari lebih dulu saat gerbang sekolah SMA Kaosta telah berada tak jauh dariku. Meskipun beberapa siswa tampak terburu-buru masuk, padahal masih ada setengah jam lebih lagi gerbang sekolah akan ditutup. Suara Galan dari jauh, meminta untuk dimaafkan tak aku hiraukan. Karena aku lebih tertarik dengan siswa-siswi lain yang berbondong-bondong masuk lewat ruang lobi yang terlihat sempit karena sesaknya siswa-siswi di sana. Aku memelankan langkah sambil bertanya-tanya tentang ada apa yang terjadi?

"Kenapa mereka berkumpul seperti itu? Apa ada layanan makanan gratis?" Galan bertanya setelah dia sekarang berdiri tepat di sebelahku. "Aku tidak sarapan Ari, aku lapar. Kau tahu rasaya cacing-cacing di perutmu bersuara." Aku mendelik tak suka dan tidak peduli dengan drama ratapannya barusan. Masih ingat ucapan tak senonohnya beberapa saat yang lalu. Aku memasang wajah datar. Dia juga langsung mengerti dan malah tersenyum tanpa dosa.

Dari kerumunan aku mendengar jeritan siswi dan beberapa siswi lainnya ikut menjerit setelah keluar dari lobi. Bahkan saat siswa-siswi berhasil melewati lobi dan langkah-langkah mereka terpacu begitu cepat memasuki bagian depan lobi yang menghadap ke lapangan. Tanaman hias yang berderet di pinggir lapangan tampak rusak terinjak dan tersenggol padahal tanaman-tanaman itu berguna memisahkan antara batas lantai, selokan kecil dan lapangan sekolah yang lebar.

Jeritan yang lebih ramai dan hampir semua siswi mengeluarkan jeritan yang sama, lantang. Mereka menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangan. Aku melihat pemadangan mengerikan dari pintu masuk lobi, semakin tertarik untuk meloncati tanaman hias yang setinggi lutut bersama dengan Galan di belakangku.

Dari jarak yang cukup jauh dan riuhnya siswa-siswi yang panik, ada yang tiba-tiba pingsan, beberapa lainnya masih menjerit histeris dan wajah-wajah syok dan ketakutan begitu kentara.

Pandanganku yang masih dalam kebingungan di arahkan begitu saja saat beberapa siswa yang menunjuk-nunjuk ke arah tiang bendera yang memang berada tepat di pinggir, membelah lapangan sama panjang. Tiang bendera itu memiliki panjang dua puluh meteran kalau aku tidak salah. Akan tetapi kali ini ada sebuah tali tambang yang melintang dari arah lain. Seperti sengaja dipasang di ujung tiang dan membentang hingga berakhir ke sudut balkon kelas 11-A yang berada di lantai dua. Dari situlah, ketika mataku terfokus di sana, membulat sempurna dan begitu juga dengan Galan, bisa kudengar Galan bersumpah serapah karena terkejut.

Karena semua orang termasuk juga aku yang sekarang ini, menyaksikan tubuh kaku seseorang yang digantung di tambang tersebut.

****

Author's Note

Ho! Lama ya saya tidak mengisi lapak cerita ini. Kesibukan memaksa saya menjeda sebentar//lama cerita ini. Akhir tahun ternyata memiliki kondisi yang benar-benar buruk bagi waktu saya. Tapi, saya coba semaksimal mungkin untuk meneruskan cerita ini dan berharap bisa rampung sebelum waktunya.

Oya, bagaimana dengan bagian ini? Bisa kasih kritik, saran, vote-nya supaya saya semakin semangat buat ngetik lagi.

Oke, segitu dulu ya. Jaga kesehatan kalian :)

🖤
Kang Zee

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang