| Chapter 18 | : Come Back Home

63 25 7
                                    

Aku menatap ke sekitarnya setelah Bu Lyna hengkang dari kelas. Berganti dengan Pak Hadiswa yang masuk ke dalam ruang kelas. Membawa semerbak parfume berbau mirip yang akhir-akhir ini aku cium. Tapi dengan campuran yang aneh, lebih dominan bau vanilla dan sweet candy atau bubble gum.

"Sepertinya sapaan selamat siang sudah tidak berlaku lagi," katanya sambil meletakan buku dan beberapa berkas berwarna di atas meja. Beberapa murid ada yang tertawa ramah dan bersiul lirih. Sementara aku duduk di bangku kedua paling depan hanya bisa melihat gerak-gerik guru muda itu.

"Apa kalian masih semangat?" tanya Pak Hadiswa dan sorak penuh semangat dari siswa-siswi membahan memenuhi kelas. Aku mendengkus dalam batin, ketika Bu Lyna mengajar kalian semua seperti mayat.

Pak Hadiswa tersenyum sambil membuka lembar demi lembar buku Matematika di atas meja. "Saya harap kalian semua bisa melalui ini dengan baik dan berhasil mencapai mimpi kalian nanti."

Belajar pun dimulai, Pak Hadiswa mulai sibuk menulis rangkaian rumus pada papan tulis. Sementara hidungku terganggu dengan bau parfume yang semakin lama malah semakin menguat. Mencoba mengusir bau itu tapi tetap saja bau itu masih bertahan. Aku tidak bisa diam jika terus seperti ini. Pandanganku terarah ke sekeliling, melihat semua murid fokus ke depan dan ada juga yang menahan kantuk dan menggambar di buku. Saat mataku menyapu jendela-jendela kelas yang mengarah ke halaman belakanga. Dari jendela terakhir yang berada di sudut yang mempertontonkan pohon-pohon bambu dan kamboja. Selain dari warna hijau daun ... aku melihat sosok lain yang mengintip di sana.

*

"Aria!"

Aku mengerjap sedikit tersentak karena suara barusan menyadarkanku dari jendela dan sosok yang menghilang begitu saja.

Arah pandanganku ditarik ke depan, melihat Pak Hadiswa berdiri di depan papan tulis dengan buku serta spidol hitam di tangannya.

"Apa yang kau lihat?" tanya Pak Hadiswa membuatku seratus persen sadar dan merasa malu sendiri ketika semua perhatian tertuju ke arahku. Aku segera meminta maaf dan Pak Hadiswa menyuruhku untuk fokus. Meskipun saat aku melihat ke arah jendela, di sana hanya ada kekosongan.

Sosok bertudung hitam itu lenyap. Aku hanya melihat wajahnya yang suram karena tudung hitam itu tak memberikan cahaya lebih. Tapi siapa itu? Apa dia pembunuh yang mungkin menyasar anak-anak lain? Oh, hari ini aku tidak melihat Windy hadir di sekolah atau pun di asrama? Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?

Tiba-tiba aku mencemaskan keadaan Windy yang menjadi sasaran selanjutnya pembunuh itu. Atau mungkin ... pembunuh itu telah mendapatkan Windy?

Tidak! Tanpa sadar aku menggebrak meja dan bangkit dari kursiku. Membuat suara berisik yang singkat namun mengejutkan semua orang. Tentu saja semua pandangan mengarah ke arahku, termasuk Euna yang duduk dua meja jauhnya dariku, menatap sikapku yang mungkin aneh di matanya.

"Kenapa Aria?" tanya Pak Hadiswa kembali menghentikan coretannya di papan tulis. Sama seperti semua orang di kelas ini, Pak Hadiswa menatapku dengan raut heran.

"Ah, itu ... saya minta ijin pergi ke kamar kecil." Alasan yang pasaran dengan ucapan yang terbata-bata. Aku merutuki diriku sendiri yang bodoh. Kenapa begitu khawatir sola ini dan itu. Padahal belum tentu Windy dalam bahaya. Apalagi Ayahnya seorang polisi, pasti dia baik-baik saja sekarang. Tapi kenapa dia tidak hadir?

"Silahkan," kata Pak Hadiswa setelah menimang alasanku barusan. Sekaligus membuat buyarnya pemikiranku yang begitu menambah berat di kepalaku.

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang