| Chapter 5 | : Someone 'Killer'

99 33 6
                                    

Rasanya ada yang menekan dadaku sehingga untuk meraup oksigen saja sungguh sulit. Setelah mendengar baru saja, satu nama yang pagi ini telah meregang nyawa di tali tambang dan lebih buruknya dengan cara digantung semengerikan itu.

Iren, Iren, Iren ... Iren. Aku mengusap wajah dengan gusar. Rasa pening segera hadir, seolah tersenyum manis mendiami isi kepala. Rasa terkejut dan tidak percaya menjadi dua hal yang berputar tak henti-hentinya dalam pikiranku. Bercampur aduk seperti adonan semen dan pasir yang diputar dalam mesin molen.

Tidak mungkin, bukannya kemarin pas pulang sekolah aku bertemu dengan Iren di perpustakaan. Dia juga kaget melihatku ada di sana waktu itu. Kami bahkan berbincang sebentar sebelum aku berpamitan padanya untuk pulang dan aku menyuruhnya juga agar segera pulang.

Tidak, tidak, tidak!

"Aria, kau baik-baik saja?" Satu sentuhan yang mendarat di sebelah pundakku tidak membuat sepenuhnya isi dan putaran opsi-opsi bagai tornado itu lenyap dari kepalaku. Memporak porandakan isinya. Hanya sebentar ketika aku menatap Euna yang masih memakai raut gelisah bercampur ketakutannya.

Aku menggeleng tanpa sadar. Rasa hatiku sakit jika tahu, kemarin ... di saat hujan turun begitu lebatnya dan aku berpisah dengan Iren. Mungkin ... mungkin waktu itu adalah pertemuan terakhir aku dengannya.

"Menutupi sesuatu? Aria bisa kau bicarakan semuanya padaku. Kau pasti ingat bukan, aku pendengar yang baik?" Wajah polos Euna sedikit membuat suasana hatiku merekah diam-diam. Suara lembut Euna dan usapan lembutnya mampu menarik senyum pahitku dan menatapnya dalam-dalam. Mencari arti yang sebenarnya di mata Euna yang bulat. Melihat pantulan diriku sendiri.

Euna melepaskan usapan lembutnya setelah tahu aku belum ingin mengatakan semua padanya. Tentang pertemuan terakhirku dengan Iren sore itu.

"Apa ... terkait dengan insiden pagi ini ...." Suara Euna menghilang di akhir kalimatnya sendiri. Setengah keyakinannya mungkin menjurus ke jalan kebenaran yang diucapkannya barusan.

Tatapanku tidak beralih dari mata Euna, tidak terganggu dengan riuhnya suasana kelas yang masih sepertinya syok mengetahui pemilik tubuh tak bernyawa yang digantung pagi ini. Semua menjadi isak, desahan tidak percaya hingga semburan opsi-opsi yang sama sekali tidak masuk akal. Contonhnya Iren membunuh dirinya sendiri atau dibunuh oleh pacarnya dari sekolah lain.

"Kami bertemu kemarin sore sebelum hujan." Bola mata Euna membulat sempurna. Sangat bulat dan jika waktu tidak dalam segenting ini, aku mungkin menikmati pancaran menggemaskan itu dari Euna.

Euna menutup bibirnya, memekik kecil seolah keterkejutannya sedikit terlambat. Tapi dia berkata beberapa menit kemudian setengah membuka bekapan tangan di bibirnya yang mungil. "Kemarin? Di mana?"

"Perpustakaan. Kami berbincang sebelum aku pamit padanya karena hujan mulai turun ...." Kini gantian kalimatku yang lenyap. Karena isi kepalaku mengingat potongan demi potongan kejadian kemarin. Meski kepalaku rasanya pening. Persetan! Dengan sisa demam malam tadi yang menjadi-jadi saat ini. Aku meremas rambut di atas dahiku sambil memejamkan mata. Euna tampak tak nyaman dan mencengkeram pundakku dan menepuknya beberapa kali.

Sisa ingatan itu mengantarkanku pada gambaran melewati gerbang saat hujan turun begitu lebat, saat Paman Sit buru-buru menutupnya meskipun pakaiannnya harus basah kuyup dan berkata aku harus pulang cepat, tapi saat itu aku seperti mendengar sebuah jeritan ....

Ya, jeritan! Aku terperanjat dengan kedua mata membulat. Seolah baru saja mengingat di mana kau menyimpan uangmu setelah beberapa hari kau lupa tempatnya.

"Aku mendengar jeritan itu," kataku kepada diriku sendiri. Tidak sadar jika Euna si penakut di sampingku ikut mendengar dan aku yakini. Dia segera melepaskan sentuhannya dari tubuhku dengan gerakan sedikit menjauh. Matanya menatap panik ketika aku balik menatapnya.

"Apa katamu barusan Aria?" Tubuh Euna menegang seketika. Terlalu terkejut dengan pernyataan separuh yang tanpa sadar terlepas begitu saja dari mulutku.

Aku mencoba mengalihkan perhatian, dengan melempar pandangan ke arah lain. Mencoba sebisa mungkin agar tidak membuat Euna berpikir ke mana-mana. Apalagi aku yakin jika bayangan keterkaitannya ini dan itu hanya akan bertambah setiap waktu.

"Tidak. Maksudku, kemarin setelah aku pulang sekolah dan menjerit karena aku terpeleset di lantai lobi yang licin itu." Napasku seperti bebas mengudara saat Euna mengedipkan matanya sambil menghela napas kecil. Dia sudah sedikit tenang. Dan untunglah Euna orang yang mudah dikelabui.

Tapi tiba-tiba wajah ketakutannya menyeruak begitu saja membuatku terkejut. "Tapi kau bertemu dengan Iren kemarin bukan dan kalian berbicang ... sebelum dia ... sebelum dia meninggal pagi ini. Dan ... dan ...." Euna menelan ucapannya dengan gerakan saliva yang susah payah ia telan di tenggorokannya. "Dan setelah kau pulang, Iren dibunuh begitu."

Tepat! kataku dalam batin. Meskipun suara jeritan itu membuatku semakin menguatkan tekad jika Iren ... mungkin saja setelah aku pergi dari sekolah seseorang datang padanya dan melakukan itu.

Otakku berpikir seribu kali lebih keras dan seolah asap mengepul dari dalam telinga. Siapa? Siapa? Tapi siapa? Aku pulang setelah mendapat payung dari Pak Hadiswa ... dia juga pulang seperti yang dikatakan Paman Sit.

Aku yakin hanya aku mungkin, karena aku melihat tak ada siapa pun di sekolah waktu itu. Hujan akan turun dan aku mungkin melewatkan si pembunuh itu yang mengintai di balik tembok sekolah.

Tapi setelah aku bertemu dengan tiga macan itu, Karina-Nouwa-Foxface juga Galan yang juga pulang setelah aku pulang.

Apa aku melewatkan sesuatu atau mungkin saja yang tidak aku ketahui dari bangunan sekolah SMA Kaosta yang penuh dengan desas-desus 'katanya' itu.

Tapi ... yang kulihat dan satu-satunya orang yang terakhir berada di sekolah. Yang memberi jalan pulang untukku meskipun pakaiannya basah kuyup diguyur hujan kemarin. Dan berkata jika istrinya tengah sakit. Aku hanya setengah yakin akan hal itu. Karena hanya satu orang yang bisa kupastikan.

Siapa lagi yang aku tahu selain Paman Sit.

****

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang