(Bisa berikan dukungan untuk cerita ini dengan cara mem-vote, simpan dalam reading list kalian agar tidak ketinggalan info update selanjutnya)
Kang Zee
"Lari!!"
Suara serak Bu Lyna dan desahan kesakitannya karena bisa kulihat peluru panas itu menembus lengan atasnya. Darah segar mengotori lantai yang sudah kotor.
Aku harus benar-benar menyadarkan diri jika saat ini Pak Hadiswa tengah meraup wajahnya yang terkena cairan merica dan sekarang tengah menggeram kesetanan karena rasa perih yang ditimbulkan oleh cairan antara campuran bubuk cabai serta merica tersebut.
Bu Lyna luluh ke lantai sambil satu tangannya memegang kuat-kuat bagian yang terluka. "Aria, Sua ... cepat kalian berdua pergi dari sini! Hubungi polisi! Cepat!"
Aku hendak membantah perintahnya sebelum Bu Lyna berusaha bangkit susah payah. "Jangan khawatir! Ibu masih bisa menghadangnya dengan cara ini." Dengan kesakitan yang jelas tersirat dari raut wajahnya. Bu Lyna menyambar kapak yang berada tak jauh dari letak mayat Paman Sit di lantai. "Cepat kalian lari sekarang! Selamatkan diri kalian!" seru Bu Lyna dengan kesal.
Segera Sua menatap ke arahku penuh pertimbangan. Sementara Pak Hadiswa masih berteriak-teriak kasar karena pastinya dia merasakan rasa perih yang mendera penglihatannya. Tubuhnya bergerak tak tentu arah. Mencari air.
Dor! Dor!
"Lari!!" Aku harus memberi banyak sedikit kekuatan untuk meyakinkan diri agar beranjak dari tempatku. Menarik langkah pasti menjauh dari kekacauan dan mayat-mayat yang bergelimpangan saat ini. Meski dengan derai tangis lirih yang tiada henti.
Aku dan Sua berlari mencari jalan lain melewati koridor berlawanan arah menuju lobi. Saat dipersimpangan antara kelas sepuluh dan ruang sekertariat sekolah yang kecil dan sesak. Aku melihat dari jauh. Pak Hadiswa mulai melepaskan tembakan tak tentu arah berkali-kali. Dan Bu Lyna berada tak jauh dari jangkauan tembak masih dengan kapak di tangannya dan tentunya bersusah payah menghindari lontaran peluru.
"Ayo kita cepat keluar dari sini Aria!" Sua menarik tanganku agar berhenti melihat ke belakang. Tapi rasanya terlalu berat. Apa yang terjadi beberapa menit yang lalu bagai mimpi buruk.
Melihat teman-temanmu mati tepat di depan mataku.
Melihat siapa pembunuh yang sebenarnya selama ini.
Melihat dan mengetahui penyebab balas dendam penuh darah ini."Arian jangan melamun di saat seperti ini! Kumohon! Kali ini kita harus lari dari sini dan mencari bantuan!" seru Sua setengah kesal. Aku bisa mendengar nada suara dan dorongan kecil di kedua bahuku.
"Tapi kita tidak bisa meninggalkan Bu Lyna di sana!" kataku yang sontak membuat raut wajah Sua mengerut tak suka. Darah setengah kering di tangannya menarik perhatianku sekilas. Itu adalah darah Ken.
"Lalu kau mau mati konyol seperti teman-teman kita? Jangan bodoh! Kita harus cari bantuan dan menyelamatkan yang lainnya yang masih hidup!" Sua menarik tanganku tanpa rasa gugup. Langkah kakiku pun ikut terpacu melewati ubin-ubin dingin sekolah menuju letak ruang lobi.
Dengan setengah tenaga yang tersisa kami berdua telah melihat pintu ruang lobi. Tersisa belasan meter lagi, sebelum mataku tiba-tiba melihat ada satu tubuh yang menelungkup tak bergerak tepat di depan pintu lobi sekolah.
"Mayat siapa lagi itu?" tanya Sua setelah kami melangkah dengan hati-hati mendekati pintu. Saat itu pula aku bisa melihat dengan jelas pakaian tidur mahal dan rambut yang dicat setengah kusam itu bercampur dengan darah amis dari pinggang. Berceceran mengotori lantai. Luka koyak benda tajam.
Sua segera menatapku bersama denganku yang ikut menatapnya balik. Segera ciri-ciri kecil tadi mengantarkanku pada satu orang yang semua orang kenal sosoknya itu.
Karina.
"Kejutan!"
Terkejut. Aku dan Sua segera membalikan tubuh kami berdua, menghadap asal suara yang menarik seluruh perhatianku dari mayat Karina yang terlihat kaku.
Sua mundur beberapa langkah hingga berakhir berdiri ketakutan di belakang tubuhku. Sementara aku harus kembali meyakinkan diri dan menelan keterkejutanku selayaknya pil-pil yang mampu menambah sisa usia siapa pun. Semua yang menampak saat ini sungguh diluar dari tebakan serta teori di dalam kepala.
Yudha tersenyum lebar tak jauh dari keberadaanku dan Sua. Dia berdiri sedikit mengendurkan punggungnya pada satu tiang ruang depan tata usaha yang bercat hijau lumut pudar.
Aku mengeryit dengan ucapan Yudha tadi. Kejutan? Apa maksud ucapannya? Apa mungkin?
"Yudha? Kau selamat?" tanyaku mencoba untuk tidak berperasangka buruk. Meskipun aku sangat tidak menyukai laki-laki urakan tersebut.
Senyum di wajah Yudha leyap berganti dengan tatapan datar namun begitu dingin. Sepertinya ucapanku barusan membuatnya seperti itu. "Kau tidak suka aku selamat? Atau kau ingin aku seperti Karina yang malang itu?"
"Bukan itu maksudku!" bantahku setengah kesal. Sudah kubilang bukan? Jika aku memang sungguh-sungguh tidak memiliki rasa kedekatan dengan Yudha, meskipun kami satu kelas.
"Ya aku tahu maksudmu kok, hanya saja ...." Pandangan mata Yudha seolah perlahan menelanjangi tubuhku. Yudha terlihat berbeda dari biasanya. Ada senyum kecil di wajahnya yang membuatku yakin jika Yudha menyimpan sesuatu.
"Hanya kenapa?" tanyaku tak sabaran karena Yudha beralih diam dengan tatapan agak anehnya. Tatapanku ikut menyelidik. Sementara aku merasakan jari-jemari Sua meremas pakaianku saat ini.
"Apa cuma kalian yang selamat sampai sini?" tanya Yudha santai. Kelewat santai hingga membuatku terkejut dengan ucapannya. Seolah dia sudah menunggu kami datang. Dan bersiap melakukan apa saja yang mungkin tidak aku atau kami semua duga. Jika memang benar.
"Kenapa memangnya? Mana yang lainnya?" tanyaku masih bersikap positif dan membuang hal-hal buruk tentang manusia di depanku saat ini.
Yudha malah mengangkat kedua tangannya yang kotor oleh darah-darah berwarna keruh. Jari-jemarinya panjangnya perlahan bergerak satu persatu.
Aku menatap sekilas ke arah Sua yang memberikan gelengan kepala tanda tak mengerti apa yang Yudha lakukan saat ini.
"Satu ... dua ... tiga ... dicekik, oh yang tadi jatuh empat lalu lima dan enam terpentuk sepuluh mungkin sebelas ...." Aku masih menatap Yudha yang terlihat asyik berbicara sendiri dengan jari-jemarinya. Dia sedang berhitung entah tentang apa.
"Dua belas." Yudha menurunkan kedua tangannya dan beralih menatap kami berdua. "Oh, mungkin lebih dari itu," lanjutnya.
"Apa? Dua belas?"
Sua meremas lengan atasku dengan hati-hati. Entah tanda apa yang Sua berikan tapi mungkin benar. Jika ada yang salah dengan Yudha. Laki-laki berambut kriting itu tertawa renyah. Dan kini aku sudah seratus persen yakin kalau Yudha sudah gila. Lebih gila saat dia berusaha menghentikan tawanya dan berujar dengan begitu santai.
"Barusan aku hanya menghitung berapa siswa yang berhasil kubunuh ...."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SCREAM : Whos Next? ✔
Mystery / Thriller🎖 Ambassador's Pick Valentine oleh AmbassadorsID 🎖 The Best Choice's Recommendation Novel with TWT & Asra Publisher 🎖 Masuk dalam Reading List di @WattpadYoungAdultID untuk kategori Red & Dark Place © KANG ZEE present • (#) GIRL'S IN THE NIGHTM...