Perjalanan pulang terasa lebih berat dan panjang. Sepanjang jalan aku masih bergelung dengan segala pemikiran yang semuanya hampir buruk. Tanganku masih menggenggam ponsel yang menjadi alasan aku seperti sekarang ini. Angin malam menyapu jalanan dengan lembutnya meski rasa dingin nan menggigil seolah menyerap lalu merasuk sampai menembus kulit, ditambah pakaianku sebagian besar telah basah. Lembab. Berkali-kali lipat terasa dinginnya membungkus tubuhku. Aku benci perasaan cemas dan khawatir secara berlebihan dan bersamaan. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Bodoh.
Hujan bertambah cukup deras, payung pemberian Galan kupegangi dengan erat. Cipratan air hujan yang jatuh ke aspal membuat sepatuku lebih basah dan itu membuatku semakin tidak nyaman memakainya.
Kedua tanganku masih cukup kuat memegang payung dan ponsel. Mataku tertarik untuk melihat sekali lagi. Ketika aku membuka kembali riwayat panggilanku pada nomor Euna. Hadiswa mengancam akan mencelakai Galan sebagai bagian dari balas dendamnya yang belum tuntas. Seharusnya Hadiswa hanya menargetkanku seorang diri saja. Galan sama sekali tidak tahu apa-apa.
Yelin alasan dari semua yang terjadi. Sudah berapa banyak korban untuk menebus dosa mereka yang mem-bully-nya. Aku mengenalnya dulu, bahkan lebih dekat. Sosoknya yang tidak jauh berbeda dengan Euna. Gadis berambut hitam lurus yang panjang. Aku masih mengingat wajah pucatnya hampir setiap kali kami bertemu atau ketika untuk pertama kalinya kami berdua saling menatap. Dia yang pada saat itu berada dalam kesengsaraan berada di sekolah. Disiksa oleh anak-anak tolol itu sampai akhirnya memilih untuk meregang nyawanya sendiri.
Menyakitkan rasanya.
Aku tahu, sekaligus menyesal tidak menggubrisnya di saat-saat terakhir dia berada di sekolah pada waktu itu. Mungkin, aku ingin menghindarinya karena setelah aku tahu, Yelin adalah korban paling manis bagi anak-anak keparat itu untuk diajak bermain. Aku tidak ingin ikut campur urusan orang lain apalagi berdampak buruk untukku sendiri. Dia rapuh, pendiam, cupu, sampai mendapat penyiksaan fisik. Aku tidak pernah mengetahui seberapa menderitanya seorang Yelin yang harus bertahan lebih lama di SMA Kaosta. Dia pasti lelah, lebih dari itu mungkin dengan cara bunuh diri adalah hal yang paling bisa membuat kesakitannya terobati. Pergi dengan meninggalkan banyak penderitaan yang menyakitkan.
Pergi.
Aku terperanjat ketika ujung sepatuku tak sengaja menendang kaleng minuman di tengah jalan kompleks rumahku yang sepi. Suara kaleng itu berisik ketika menggelinding. Memecah heningnya suasana kompleks di malam hari.
Kulihat beberapa rumah tampak tak terurus dengan baik karena memang kebanyakan orang-orang yang telah sukses lebih memilih pergi meninggalkan rumahnya bersama dengan papan tebal di setiap pekarangan rumah bertuliskan keterangan bahwa rumah mereka dijual.
Aku menghentikan langkahku pelan dan memandangi sekitar. Hujan turun tidak terlalu deras. Suara gemericiklah yang membuat indera pendengarku risi. Mungkin untuk sebagian besar orang, suara hujan yang jatuh terdengar menenangkan bahkan tidak jarang dijadikan terapi pengantar tidur.
Apa menenangkan berada di bawah hujan sendirian? Maka jawabannya tidak sama sekali. Malah hal itu membuat perasaanku campur aduk tak menentu.
Semilir angin menyapu tubuhku yang sudah menggigil sejak tadi. Buku-buku tanganku memutih karena kedinginan. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada gagang payung dan kembali melangkah. Belum kakiku menginjak halaman rumah, lebih dulu lampu secara tiba-tiba padam. Bukan lampu rumahku saja, tapi semuanya padam sekaligus.
Panik menguasai diriku, meskipun hal semacam ini sudah biasa terjadi. Aku segera menghidupkan senter di ponselku. Untung saja, ponselku bekerja dengan baik di saat buruk seperti sekarang ini. Batrainya masih cukup banyak jika aku ingin menggunakannya semalaman. Aku bisa melihat halaman rumah yang basah oleh hujan. Becek. Sedikit berlumpur.
Perlahan aku berjalan ke arah pintu rumah. Menutup payung milik Galan dan menaruhnya di samping tembok. Aku menatap diriku sendiri dibantu cahaya senter dari ponsel. Pakaianku basah dan lembab karena suhu tubuhku cukup panas. Itu bukan hal yang baik, aku pasti akan segera diserang demam. Sepatu basah yang sedari tadi menempel di kedua kakiku segera kulepaskan tanpa mau menatanya lebih baik, biarlah besok pagi aku mengurusnya saja.
Aku mendorong knop pintu rumah dengan pasrah, aku sudah siap dimarahi oleh Ibu. Di dalam otakku tergambar sosoknya pasti duduk di kursi sofa tunggal dan menungguku kepulanganku. Dia cemas juga tak sabar untuk memarahi putrinya ini yang telah menelan habis kesabarannya. Akan tetapi ketika aku masuk rumah, satu hal yang bisa aku tangkap. Ruangan rumah begitu gelap, tidak ada lampu minyak tua yang ibuku hidupkan ketika keadaan seperti ini terjadi. Biasanya lampu minyak tua itu sudah menyala di meja makan. Manfaatnya bisa ku akui, setidaknya itu jauh lebih baik dibandingkan harus berteman dengan kegelapan.
"Ibu?" Aku mengarahkan cahaya senter ke sekitaran. Melihat rumah berbeda dalam keadaan seperti ini.
"Aku pulang?" Sekali lagi aku seperti berbicara sendiri tanpa ada yang menyahuti. Perasaan ganjil tiba-tiba hinggap begitu saja. Aku menarik langkah cepat menuju ruang meja makan yang terlihat berbeda.
"Ahh!" Rasa perih dan sensasi menusuk dari bawah telapak kakiku membuat semua perhatianku tersedot untuk melihat benda apa yang sekarang ini kuinjak.
Betapa terkejutnya ketika senter ponsel menyinari lantai rumah. Aku menginjak pecahan piring kaca yang sebenarnya tersebar begitu banyak di lantai rumah. Aku meringis sambil mengangkat kaki dan menjauh dari pecahan-pecahan tajam tersebut. Meskipun terlambat karena aku memeriksa jika telapak kakiku sudah terluka. Goresannya tidak sepanjang jari kelingking tapi cukup besar.
Sial.
Darah segar keluar dari dalam dan itu membuatku ingin menangis. Tapi perasaan takut membuatku bangkit dan memperhatikan sekitar dengan senter ponsel.
Apa yang terjadi? Kenapa rumah berantakan seperti ini? Apa ada penyusup masuk?
"Ibu? Ibu di mana?" Aku bersuara lebih lantang. Sungguh aku merasa sangat takut sekarang. Satu hal yang harus kupastikan ketika dengan hati-hati aku melangkah melewati pecahan beling di lantai. Isi kepalaku sudah hampir meledak karena menyaksikan keadaan rumah sekarang. Bisikan-bisikan buruk itu telah menguasai sepenuhnya pikiranku sampai rasanya ada kehadiran denyutan beserta pening.
Dengan usaha aku berjalan semakin cepat ke arah pintu kamar Ibu. Masih dengan ponsel di tangan karena tanpa cahaya senter aku tak bisa melihat dengan jelas keadaan rumah ini. Meskipun aku benar-benar takut sampai lututku terasa mulai bergetar.
"Ibu? Ibu ada di dalam?" Aku membuka pintu kamar dengan tergesa dan melihat hal yang mungkin tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Saat cahaya dari ponsel menyinari ruangan kamarnya. Melihat Ibu duduk dengan tangan terikat serta mulut yang ditutupi oleh kain. Bola mata Ibu tiba-tiba membulat ketika melihatku. Dia bergerak mencoba melepaskan diri dan menggelengkan kepala berkali-kali.
Aku ingin menghapirinya sebelum sepasang tangan mengunci tubuhku dari belakang. Hal itu sontak membuat seluruh tubuku menegang sampai tanganku menjatuhkan ponsel. Suara ponsel jatuh ke lantai dan sumber cahaya pun lenyap bersamaan dengan suara Ibu ingin menjerit.
Begitu pun denganku yang tak bisa berkutik lagi karena sebuah kain dengan bau paling memuakkan membekap mulut serta hidungku. Aku mencoba memberontak tapi tangan kekar itu berhasil menekan perlawanku dengan mudah. Aku sudah tidak memiliki banyak tenaga ketika pening serta sesak itu datang. Suara tangisan tertahan ibuku menjadi satu-satunya hal yang bisa kutangkap selain sesudahnya adalah kegelapan yang bisu.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SCREAM : Whos Next? ✔
Mystery / Thriller🎖 Ambassador's Pick Valentine oleh AmbassadorsID 🎖 The Best Choice's Recommendation Novel with TWT & Asra Publisher 🎖 Masuk dalam Reading List di @WattpadYoungAdultID untuk kategori Red & Dark Place © KANG ZEE present • (#) GIRL'S IN THE NIGHTM...