| Chapter 12 | : Gift

84 28 3
                                    

Kelas 12-D masih riuh dengan kematian Iren. Seolah insiden itu menjadi topik panas yang mendapat rating tertinggi saat ini. Sama seperti saat aku berjalan sendirian di koridor sekolah. Aku bisa mendengar hampir semua siswa-siswi SMA Kaosta tengah membicarakan kematian Iren. Selain itu ada juga yang berselisih paham hingga membuat teori-teori tidak berguna yang membuang-buang waktu hanya dengan mendengarnya saja.

Galan kulihat dia duduk setengah mengantuk di mejanya. Kepalanya nyaris terbentur jika saja dia tidak cepat menahan kesadarannya.

Apa dia bekerja keras semalaman? Biasanya ruko Paman Lu akan tutup saat tengah malam. Aku tidak akan menyalahkan pria baik itu mengenai Galan yang selalu ingin menjadi yang paling berguna di rumahnya. Memupus tempat Lukas di keluarga kecil itu. Mungkin Galan sadar jika usahanya selama ini untuk menjadi anak berbakti belum cukup. Sudah terlalu banyak luka yang ditorehkan oleh Lukas. Sekaligus besar harapan Paman Lu dan Bibi Min terhadap putra sulungnya tersebut.

Mataku berpindah dari Galan dan siswa-siswi lain yang tengah asik membahas hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi mereka untuk dipikirkan, apalagi untuk saat ini. Sejenak pandanganku berhenti tepat ke arah samping tubuhku.

Euna, gadis itu tidak datang hari ini. Dia tidak masuk karena yang aku tahu kedua orang tuanya pergi ke kampung halamannya kemarin sore. Euna bertugas menjaga adik laki-lakinya yang nakal di rumah. Mereka—kedua orang tua Euna, mungkin akan segera kembali jika adik laki-laki Euna yang baru berumur sepuluh tahun itu tidak ikut.

Pintu kelas yang terbuka membuat hampir seluruh siswa terenyak dan berlarian ke tempat duduk masing-masing. Saat itu juga Bu Lyna masuk ke dalam kelas dengan dua buah buku tebal di tangannya. Rok hitam pekat di atas lutut begitu ketat, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Aku yakin jika hampir semua siswa di dalam kelas memperhatikan bagian itu, termasuk aku.

Aku menoleh ke arah Galan saat dia melempar sebuah remasan kertas ke bawah mejaku, tepat mengenai betis kiriku. Galan tersenyum penuh arti sambil memberikan kepadaku tatapan perintahnya agar aku membuka kertas lecek itu dan melihat isinya.

Aku memutar bola mataku kesal sambil berbalik ke depan, menunduk sedikit hanya untuk meraih kertas itu di bawah mejaku. Setelah aku mendapatkannya dan dengan setengah hati membuka kertas yag isinya sebuah deretan kalimat 'apa kau lihat itu? Mungkin selain pahanya ada yang lebih hebat dari itu di dalam sana' .

Aku memberikan tatapan menguliti kepada Galan setelah membaca sampai selesai kalimat menjijikan itu. Meskipun aku tidak seharusnya kaget karena hal seperti ini tentu saja normal. Galan sudah dewasa, bukan bocah menggemaskan yang malang tinggal di komplek miskin sama sepertiku.

Galan tertawa lirih sampai aku memandangnya dengan kesal. Sebelum perhatianku teralihkan, begitu pula dengan semua siswa yang melakukan hal yang sama denganku. Karena Bu Lyna menepuk mejanya sambil meminta perhatian seluruh siswanya. Dia sangat sabar, sayang sekali lengannya yang putih itu sedari tadi terus menepuk meja kayu sekeras itu.

"Jadwal les akan segera keluar, kalian harus bersiap saat waktunya tiba. Ini juga demi kebaikan kalian untuk masa depan. Jangan bermalas-malasan, karena semuanya berawal dari sini. Jadi, berusahalah sebaik mungkin dengan waktu yang tersisa."

Ada desahan kecewa, helaan napas hingga celetukan lirih setelah Bu Lyna selesai berbicara. Aku pikir helaan napas itu tanda baik untuk siswa-siswi pintar seperti Dino dan Luda. Mereka rajin dalam artian yang sebenarnya. Lalu, desahan kecewa dan celetukan yang semakin lama aku mendengarnya semakin risih. Yudha dan para antek-anteknya tengah bersiap menyemburkan kalimat protes dan tumpukkan alasan agar mampu menggoyahkan rencana jadwal les yang akan datang.

Aku menatap Galan untuk kedua kalinya dan lagi karena dia melemparkan remasan kertas yang sama dan kali ini berukuran lebih besar dari sebelumnya. "Apa?" kataku lirih, meskipun hanya gerakan bibir, Galan bukan orang yang bodoh. Dan dia lagi-lagi menyuruhku untuk membacanya. Aku memutar bola mata malas, memungut kertas itu dan sebelum aku membukanya. Mataku yang curiga akan sesuatu berbau vulgar di dalam kertas ini sama seperti yang pertama tadi. Aku menatap Galan lagi, hanya memastikan jika tidak ada 'hal macam-macam di dalam kertas itu' dan yang kudapat dari Galan adalah dia tersenyum penuh arti seolah apa yang aku takutkan tidak akan terjadi.

Baiklah, karena aku menyerah dan membuka kertas itu dari bentuk awalnya yang pantas disebut sampah ini.

Saat kertas dibuka aku malah mendapat remasan kertas yang berukuran agak kecil. Aku membuka lagi dan mendapat remasan yang lebih kecil lagi dan lagi hingga aku kesal dan merobek semuanya hingga sebuah benda logam jatuh di atas mejaku. Suaranya cukup nyaring, tapi tidak membuat semua perhatian tertuju padaku. Bu Lyna tampak sibuk mendengarkan alasan dari Yudha dan penjelasan yang lebih masuk akal dari Dino yang sepertinya berada di pihak sekolah.

Aku membalik benda logam tersebut dan melihat sebuah penjepit logam berbentuk mawar merah tua. Ini untuk dipakai di pakaian sebagai hiasan atau membantu menjepit sudut lain di lekukan kain pakaianmu.

Cukup bagus ... dan aku entah kenapa menyukainya. Ini hadiah dari Galan setelah dia memberikan kado berupa lima permintaanku untuknya saat hari ulang tahunku berlangsung. Aku masih ingat ingin dibelikan es krim dan gendongan sejauh setengah kilo meter kepada Galan. Lucu sekali jika mengingat Galan begitu misuh-misuh saat menggendong tubuhku.

Galan tersenyum lalu tak lama dia menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara. Aku bisa menangkapnya dan mengira jika Galan akan mengatakan apa kau menyukainya—benda itu?

Aku mengangguk pasti dan Galan segera memberikan jempol tangannya padaku. Setelah itu kami memutus pandangan masing-masing setelah Bu Lyna mengatakan bahwa jam pelajaran kami akan segera di mulai.

*****

THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang