"Kalian pikir bisa keluar dari cengkeraman seorang Hadiswa?"
Tanganku berkeringat dan basah. Menggenggam kuat-kuat pisau buah yang ukurannya cukup kecil hingga bisa kusembunyikan. Karena tidak mungkin aku menggunakannya sekarang. Pelan-pelan aku memasukkannya ke dalam saku celana tidurku yang untungnya memiliki ruang yang cukup untuk menaruh hampir separuh lebih bagian pisau dapur tersebut. Mataku tidak teralih dari moncong senjata pelontar peluru panas tersebut. Menimang-nimang kapan pisau ini bisa menang melawan benda yang bisa merenggut nyawa dalam jarak jauh itu.
"Sudah terlalu banyak cecunguk-cecunguk tak berguna, jadi apa kalian akan siap menyusul nenek peot itu di neraka?"
Suara 'klik' terdengar cukup nyaring di suasana getir ini. Aku tahu senapan itu sudah terisi penuh dan siap menembus apapun yang menghalangi lontarannya tanpa ampun.
"Kau membunuh nenekmu sendiri?" Ibuku bersuara dengan getaran di setiap nada suaranya. Tanganya mencengkeram tanganku begitu kuat.
Hadiswa tersenyum lebar, jika dulu senyum itu mampu menyihir teman-temanku dengan segala pesona. Kini senyuman itu terselimuti aura menyeramkan yang siapa pun akan merasakan kengerian ketika berada di dekatnya.
"Orang yang menghalangi jalanku pasti akan tamat, termasuk juga kalian berdua!" ucapnya dengan kedua mata melotot sempurna. Dia sudah sangat siap menarik pelatuknya.
Aku memeluk ibuku dengan kedua mata tertutup. Aku sudah pasrah jika sudah begini dan aku tidak ingin menjadi saksi ketika peluru itu merenggut nyawa kami berdua. Aku menutup mataku rapat-rapat. Memikirkan rasa sakit yang pastinya alam segera kurasakan.
Tapi sebuah suara keras yang begitu nyaring memecah rasa pasrah di dalam diriku. Aku membuka mata dengan cepat dan melihat segerombolan orang-orang berpakaian serba hitam masuk ke dalam dengan senapan bercahaya silau. Menodongkannya kepada Hadiswa tanpa aba-aba.
Aku menebak dengan ragu jika mereka adalah para polisi. Ya, aku melihat semuanya ketika lampu kembali hidup dan Hadiswa bergerak menyergap kami dengan waktu yang singkat. Mendorong ibuku hingga jatuh membentur sesuatu dan akhirnya jatuh ke lantai. Pergerakannya tak bisa kubaca hingga dalam hitungan detik, aku sudah terperangkat dalam rengkuhan dengan sejata api menodong tepat ke samping tempurung kepalaku.
"Kalian datang di saat yang kurang tepat!" Suara Hadiswa yang lantang membuat rombongan kecil polisi itu tak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Bahkan mereka masih setia dengan pose senapan yang mengarah ke arah kami berdua. Ibuku sudah tak sadarkan diri setelah desahan keskitannya selesai. Kutebak dia membentur meja dengan cukup keras dan berakhir tergeletak di lantai dapur.
"Jangan bergerak! Atau gadis ini akan menjemput ajalnya bersamaku!"
Dadaku bergemuruh dengan kedua lutut yang semakin lemas. Tubuhku sudah terkunci oleh tangan kekar milik Hadiswa. Bahkan udara tengik yang keluar dari mulutnya sudah seperti bau obat bius. Paru-paruku sesak karena tekanannya. Aku menatap para polisi yang masih berdiri dengan senjata seperti awal mereka datang. Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam dengan tergesa. Cahaya membuat penglihatanku mulai menjelas. Aku hampir menangis bahagia ketika Galan muncul. Dia menatapku dengan raut khawatirnya.
"Oh, ternyata bocah itu yang mengundang tamu-tamu yang tak diundang ini? Lancang!" seru Hadiswa tepat di samping telingaku. Menusukan bibir pelatuk ke ujung pelipisku seolah menggoda mereka yang datang. Lalu menjauhkannya lagi tanpa mengganti arah lubang moncong ke arah tempurung kepalaku.
"Lepaskan Aria! Jangan coba-coba untuk melukainya!" Suara Galan seperti guntur di sore mendung. Dadaku yang sesak sedikit lega meskipun aku tahu arti dari perasaanku saat ini. Mungkin mati di depan orang yang kita cintai adalah pencabutan ajal terbaik. Setidaknya aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya sebelum pergi.
Hadiswa tiba-tiba tertawa. Seperti biasa, gaya tawanya membuatku muak sekaligus ingin membunuhnya saja. Hingga aku tersadar akan sesuatu di dalam saku celana yang lepek.
"Kau baru saja mengancamku? Dasar bocah tolol!" oloknya dengan sinis.
Para polisi mulai menginterupsi kepada Hadiswa untuk segera menyerah. Tapi Hadiswa tidak akan mudah menyerah begitu saja. Dia ingin membunuhku meskipun dia juga akan ikut terbunuh. Kecuali, jika aku dengan hati-hati menarik dengan pasti pisau buah yang tadi kusembunyikan di dalam saku celanaku tanpa menarik perhatiannya. Pelan-pelan sekali sampai aku berhasil menggenggam pisau tersebut dengan tangan kiriku yang bebas bergerak.
Sementara Hadiswa masih sibuk mengawasi para polisi dan aku menatap Galan yang ternyata menyaksikan apa yang kulakukan sekarang.
Para polisi tiba-tiba menurunkan senjatanya tanda menyerah. Aku tahu mereka mengetahui rencanaku dan memberi sedikit panggung untuk Hadiswa menang sesaat.
Hadiswa kembali tertawa dengan bangga. Dia pikir kemenangan selalu berpihak padanya. Tapi mungkin tidak untuk kali ini.
Aku mencengkeram kuat-kuat gagang pisau itu ketika aku sadar jika pijakan dan ketahanan tubuh Hadiswa terasa melemah sedikit demi sedikit. Luka tusuk itu pasti telah mengeluarkan banyak darah.
Ini kesempatanku.
"Lihatlah mereka semua Aria, tak ada satu pun yang akan menyelamatkanmu," ucapnya bangga.
Aku menatapnya dengan keberanian yang tersisa. "Kau pikir tokoh antagonis akan selalu menang di akhir episode?"
Hadiswa menatapku dengan heran dan saat itulah aku menancapkan pisau itu tepat di pinggangnya sedalam mungkin dan berusaha untuk keluar dari cengeramannya sampai pada satu titik aku lengah kalau senapan di tangan Hadiswa ternyata sudah ditariknya.
Detik selanjutnya yang begitu cepat ketika peluru panas mengantam pundakku seperti sebuah laron raksaksa yang menyengat sampai ke tulang. Panas, nyeri serta rasa sakit yang luar biasa membuatku jatuh ke lantai. Aku menjerit sekuat tenaga ketika suara-suara di sekitarku mulai ricuh. Suara tembakan berkali-kali meletus. Memekik indera pendengarku seperti ribuan petasan. Suara tubuh jatuh di sampingku terkapar di lantai. Aku menahan bahkan memaksa untuk sadar. Akan tetapi tubuhku jauh dari kata kuat untuk tetap bisa bertahan.
Dunia yang kulihat tiba-tiba berubah menjadi luntur seperti cat. Kunang-kunang selayaknya taburan ribuan bintang di langit seolah berjatuhan menimpa indera penglihatku secara bertubi-tubi. Panas, mati rasa, tubuhku tidak bisa bergerak, lumpuh.
Rasa sakit itu tiba-tiba lenyap ketika sesosok gadis berwajah pucat yang sangat familier di mataku muncul tepat di atas kepalaku dengan seyuman tipisnya yang rapuh. Belum sempat aku mengatakan sesuatu atau membalas senyumannya, Yelin ikut luntur dan menghilang menjadi bayangan gelap. Taburan bintang di langit berubah menjadi seberkas cahaya yang menyilaukan, kemudian segalanya perahan hilang, padam dan gelap gulita.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SCREAM : Whos Next? ✔
Mystery / Thriller🎖 Ambassador's Pick Valentine oleh AmbassadorsID 🎖 The Best Choice's Recommendation Novel with TWT & Asra Publisher 🎖 Masuk dalam Reading List di @WattpadYoungAdultID untuk kategori Red & Dark Place © KANG ZEE present • (#) GIRL'S IN THE NIGHTM...