Di dunia ini ada banyak banget hal yang bisa bikin bahagia.
Salah satunya berderingnya bel pulang sekolah.
Apalagi kalau mata pelajaran akhirnya itu fisika. Duh, berasa surga dunia banget kalau dengar bel pulang sekolah tuh.
Yura yang awalnya udah nahan-nahan ngantuk, pas denger bel dia langsung jatohin kepalanya di meja. Lia, teman sebangkunya cuma bisa geleng-geleng kepala liat kelakuan Yura.
Yura dan fisika tuh, bagaikan Yura waktu sakit. Kesel sama obatnya, tapi tetep harus dimakan supaya sembuh.
Kesel sama fisika, tapi tetep butuh buat nilai rapot.
Begini nih, kalau salah jurusan. Yura kadang pengen maki-maki hasil psikotest yang ngebawa dia masuk ke jurusan ini. Kenapa gak ngajuin pergantian jurusan ke guru konseling aja sih kemarin. (baca: pas kelas 10)
Tapi, kalaupun dia pindah jurusan, dia gak akan ketemu teman-temannya yang super ajaib dan baik hati tapi menyebalkan ini.
Kasarnya, setiap keputusan tuh pasti ada baik dan buruknya ya. Yang namanya resiko dan konsekuensi, mau gak mau harus di hadapi. Begitulah hidup.
Yura menolehkan kepalanya kekanan. Masih dalam posisi menelungkup di meja. Ia memperhatikan Lia dan teman-temannya yang sibuk mencatat materi di papan tulis. Katanya lebih baik pulang telat tapi semua catatan beres, daripada di nanti-nanti malah malas kalau dikerjakan dirumah.
Kalau Yura sebaliknya, dia malah mood mengerjakan apapun di kamar kesayangannya.
"Ada tugas gak dari pak Jaya?"
Yura bertanya dengan suara yang penuh dengan kemalasan.
"Ngga, makanya ini cuma nyatet doang."
Lia yang menyaut. Dia tuh sabar banget orangnya.
"Kamu gak nyatet Ra?"
Yura menegapkan tubuhnya, menggeleng.
"Nggak, mau lanjut dirumah aja."
Yura bergegas membereskan alat-alat sekolahnya yang berserakan dimeja, lekas memfotokan semua materi yang ada di papan tulis.
"Pulang duluan ya. Ada jadwal les nih."
Yura melambaikan tangan keteman-temannya yang masih sibuk mencatat. Lalu ia lekas keluar kelas.
Ia harus menyebrang agar bisa menaik angkutan umum. Saat menunggu angkutan umumnya datang, Yura melihat kearah gerbang sekolahnya. Matanya menyipit ketika menyadari bahwa ia mengenali seseorang. Sangat kenal malah.
Iya. Dia mantan—pernah dekat—nya. Diam di atas motornya. Matanya terfokus pada gawainya. Sepertinya ia menunggu seseorang.
Dan ternyata benar. Seorang wanita yang Yura tak tahu namanya, menaiki motor mantannya. Mereka terlihat dekat. Semuanya terjawab jelas ketika sang wanita memeluk erat perut sang lelaki.
Iya. Jelas sekali.
Sampai-sampai Yura ingin dibangunkan dari mimpi buruk ini.
(｡•́︿•̀｡)
Yura mengikuti kursus bahasa inggris. Bukan atas paksaan siapapun, tapi karena ia sangat menyukai bahasa inggris. Seru katanya.
Tapi sepertinya ia saat ini mengabaikan hal yang paling ia sukai itu. Sepanjang kelas, ia melamun. Memikirkan siapa wanita itu. Maksudnya, asal usul bisa dekat, kapan? Pasalnya ia dan mantannya baru berpisah seminggu yang lalu.
Secepat itukah?
Lamunan Yura buyar ketika Mr. Rama menegur Yura.
"Yura? Did you have any question?"
Yura terkesiap, ia cepat-cepat mencari alasan.
"U—hm, Nope Mister, i just wanna go to toilet."
Mr. Rama mengangguk tanda menyetujui ucapan Yura. Ia pun bergegas ke toilet untuk membasuh wajah. Guna menjernihkan fikirannya yang sempat terdistraksi.
