28

12 2 0
                                    

"Kamu itu gimana, sih? Sebetulnya niat atau enggak?! Lihat! Kita dijadiin tersangka, kan?"

"Kalau tahu begini, aku bakal milih untuk angkat tangan dari awal. Aku gak mau jadi orang jahat,"

"Setelah apa yang udah kita lakuin? Kamu mau hanya aku yang jadi antagonis? Padahal semuanya ini berawal dari kamu."

"Semuanya berakhir kalau kamu gak ngusulin ide bodoh itu!"

"KAMU GAK AKAN BISA LOLOS DENGAN KASUS ITU!"

"TAPI SEMUANYA LEBIH BAIK KALAU NGAKU DARI AWAL! GAAKAN SERUMIT INI, FARA!"

Malam ini, Angkasa lagi-lagi menyaksikan secara diam-diam orang tuanya berselisih. Jengkel, kecewa, marah. Tapi Angkasa tidak bisa apa-apa.

Tapi, semakin ditekan kedalam semakin sakit dan sesak. Angkasa muak. Ia ingin semuanya selesai. Tanpa basa-basi lagi, Angkasa membuka pintu ruang kerja Papanya dengan kuat.

"Gak perlu disembunyiin lagi, Bara udah tahu semuanya,"

Angkasa menatap kecewa kepada sepasang figur yang selama ini ia kagumi. Tanpa mengurangi rasa hormat, Angkasa melanjutkan, "Papa dan Mama, sosok yang selama ini jadi panutan Bara, kenapa jadi begini? Kemana prinsip yang dulu kalian junjung tinggi? Kemana pepatah Kejujuran adalah kunci utama kehidupan? Kemana Pa, Ma?"

Ekspresi mereka membola. Terlihat terkejut dan panik di waktu yang bersamaan. Karena tidak menyangka kejadian seperti ini akan terjadi.

"Gak usah sok kaget, harusnya kalian bisa lebih pintar cari tempat untuk diskusi," Angkasa tersenyum miris melihat keluarganya yang sedang menuju kehancuran.

"Ma, Mama tahu, kan? Mama sosok yang Bara selalu hargai? Setelah Kak Gia? Terus kenapa Mama tega jatuhin wanita lain? Kenapa ma?"

Bulir air mata jatuh tanpa permisi dari kedua mata cantik Angkasa. Sesekali ia mengambil nafas panjang untuk melanjutkan kalimatnya, "Apa kalian gak mikirin perasaan Kak Gia gimana di sana? Apa dia gak terbebani? Gimana kuliah dia di Australia kalau dia denger kedua orang tuanya jadi tersangka kasus penipuan?"

Angkasa mengalihkan pandangannya pada sang Papa yang semakin merundukan pandangannya. Tidak ingin bersibobrok pandangan dengan Angkasa.

"Papa juga, kenapa bisa-bisanya ngekhianatin sahabat sendiri? Padahal Papa ngajarin Bara kalau sahabat itu lebih penting dari apapun. Tapi apa? Kenapa kalian jadi pemakan ludah sendiri? Kenapa kalian jadi kayak sosok asing yang Bara gak kenal? Apa yang buat kalian jadi gini?

Apa gara-gara Bara jadi anak yang kurang baik ya? Mama Papa jadi gini? Tolong kasih alasan supaya Bara bisa paham sama keadaan sekarang. Supaya Bara gak kesakitan untuk nyalahin diri Bara sendiri. Selama ini Bara selalu diem karena Bara ngerasa gak punya kendali atas apa yang bukan Bara lalui. Tapi, sekarang Bara bakal lepasin semuanya. Bara bakal jadi anak yang bukan kalian impikan,"

Terdengar suara bel dan ketukan keras dari pintu luar.

"Buka pintunya! Kami dari kantor polisi! Buka atau kami dobrak?!"

Angkasa tersenyum kecil di tengah-tengah tangisnya, melihat lagi keadaan Papa dan Mamanya yang kalang kabut.

"Sial, aku gak tahu kalau polisinya secepat ini!"

"Dasar bodoh. Kalau gak cepat ya gak akan pantas untuk mengayomi masyarakat," Mamanya membalas perkataan Papanya dengan sewot. Ia menatap sinis Angkasa di hadapannya, "Saya gak pernah minta apa-apa dari kamu, tapi kali ini saya sadar, kenapa gak dari dulu saya minta kamu pergi dari kehidupan saya? Harusnya waktu itu saya gak usah kemakan omongan lelaki yang kamu panggil sebagai Papa itu untuk nyelamatin kamu di rahim saya."

Letting GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang