09

33 4 0
                                    

Do you mind to tap a 'star' at the left side in the bottom of this page? Thankyou!

〒_〒

Sesaat setelah Januar pergi hendak menyusul Yura, Jae yang kala itu sedang berkutat serius dengan komputer di kamarnya terkesiap ketika mendengar pintu utama terbuka.

Karena, Jae sengaja tidak memakai earphone jaga-jaga bila ada tamu, masih bisa terdengar.

"Siapa?"

Jae memutuskan meninggalkan komputernya dan turun kebawah untuk mengecek. Ternyata oh ternyata. Seseorang yang datang tanpa permisi itu tengah memandangi Foto keluarga yang terpampang jelas di ruang tamu.

"Papa? Mau ngapain? Kok gak ngabarin Jae dulu kalau kesini?"

Dengan ketus tetapi sedikit sopan tersebut, Jae bertanya perihal apa Sang Ayah datang kemari. Hujan-hujan pula. Baju Ayahnya basah kuyup pula. Bukankah itu hal yang aneh?

Yang ditanya menoleh kesumber suara. Ia terlihat berfikir sejenak. Kira-kira kata apa yang pas untuk diutarakan? Ia tersenyum tipis. Tetapi bukan senyuman tulus. Mengerti?

"Pa? What are you doing here? I think you had no business again, right?"

*Pa? Ngapain kesini? Gue rasa Papa gak ada urusan lagi disini, kan?

Sekonyong-konyong Papanya menghampiri Jae yang berjarak lima meter dihadapannya degan cepat. Jae cukup terkejut dan was was.

"Kemana dia?" Ujar Papanya sambil mencengkram kuat kedua bahu Jae. "Cepat kasih tau kemana Bunda mu?" Kalimat itu diakhiri dengan sebuah teriakan frustasi.

Jae menghela nafas. Memang Papanya ini tidak waras. Salah satu alasan berpisahnya Bunda dan Papanya adalah, karena Papanya sungguh tempramental. Kalau sudah marah sering melampiaskan ke seseorang. Dan kemudian physical abusive pun tak terhindarkan.

"Gak ada dirumah! Sekarang, Papa pergi! Sebelum Jae panggil security!" Jae menjawab tak kalah sengit. Jujur, ia lelah dengan tingkah Papanya. Sudah lebih dari tiga tahun tidak bertemu, saat itu pula Jae dan adik-adiknya ditambah Bundanya sangat-sangat tentram. Tapi, sepertinya itu takkan bertahan lama. Untuk sekarang.

Papanya tertawa. Padahal tidak ada hal yang pantas ditertawakan. "Hahaha! Sejak kapan kamu diajarkan berbohong?" Ia merotasikan bola matanya tanpa melepaskan cengkramannya dibahu Jae. Tampak berfikir sejenak. "Oh, Kamu diajarkan oleh Yunita, kan? Ck. Wanita itu. Selalu saja berbohong. Bilang sudah tidak mencintaiku, tetapi aku tahu! Sebetulnya dia masih mencintaiku! Dasar perempuan murahan! Lebih memilih berpisah karena ingin bahagia?! Omong kosong macam—"

PRANG!

Jae lekas mengambil vas yang ada dijangkauannya. Membantingnya kesembarang arah guna untuk mendistraksi kegiatan omong kosong yang Papanya ucapkan.

Sambil menyingkirkan tangan Papa dibahunya, Jae berujar dengan sinis.
"Mending lo pulang sekarang juga. Sebelum gue sobek mulut kotor lo itu," Jae sudah cukup menahan emosinya. Ia tidak kuasa lagi saat Papanya ini mulai menjelek-jelekan Bundanya disaat Papanya adalah kunci utamanya. Gila.

"Wow, Kamu berani juga?" Papanya terlihat terkesan dengan perbuatan yang Jae lakukan. "Saya akan cepat. Beritahu, dimana Bundamu? Saya ingin mengambil Januar dari kalian."

Letting GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang