18

13 2 0
                                    

[h a p p y • • r e a d i n g]

Keesokan harinya, Angkasa menepati janjinya. Ia sampai tepat pukul enam pagi. Angkasa juga sempat bercengkrama dengan Bunda nya Yura. Yura sempat khawatir karena bunda nya sedikit sewot kalau ada bujang yang mendatangi rumah untuk hal terselubung.

Dan kini, Yura bersama dengan Angkasa memecah jalanan kota yang mulai padat akan aktifitas orang-orang di pagi hari.

Menumpangi Toto—Motor matic milik Angkasa jenis scoopy berwarna coklat—dengan kecepatan standar sambil bercengkrama ringan.

"Kenapa bisa dinamain Toto?" Yura berucap sedikit berteriak sambil memajukan badannya agar bisa terdengar jelas oleh Angkasa.

"Hm, mau tau banget jawabannya gak?" Angkasa balas menjawab dengan candaan.

"Ish!" Yura menepuk pelan—sebetulnya kencang—bahu kanan Angkasa. Kemudian ia menggerutu. "Yang bener dong! Gue nanya serius juga!"

Angkasa tertawa keras. "Rahasia."

Yura hanya mendengus sambil menegakkan kembali posisi tubuhnya yang sedikit membungkuk itu. Rasanya aneh, Yura yang terbiasa mengendarai motor itu merasakan perasaan asing karena di bonceng.

"Agak aneh ya?" Angkasa tiba-tiba bertanya sambil menatap Yura lewat kaca spion.

"Apanya yang aneh?" Yura menyaut.

"Itu, di bonceng.. Lu baru ngerasain ini lagi kan?"

Yura hanya mengangguk tanda setuju.

"Oh iya," Angkasa teringat sesuatu. Yura hanya menanggapi dengan tatapan matanya.

"Nanti, gak usah dengar apa kata orang ya?"

Yura mengernyit sebentar. Lalu ia mengangguk paham. Benar. Yang menjalani adalah mereka. Yura dan Angkasa. Hanya mereka yang tahu kebenarannya.

ʕ•ε•ʔ

"Permisi, ada Kak Yura?"

Yura yang kini sibuk menjelaskan materi bahasa inggris yang belum di pahami oleh teman-temannya itu menoleh ke sumber suara.

"YURAAA ADA YANG NYARIIN NIH!" Suara nyaring Lukas membahana keseluruh penjuru kelas. "Eh, adek ini kelas berapa? Kok gue baru lihat sih?" Sudah tercium bau-bau modus sodara-sodara semua.

Yang ditanya hanya tersenyum kikuk menunggu kedatangan Yura.

"LUKASSSSS! Kebiasaan banget sih, lo. Pantes aja kaga ada adik kelas yang mau ke kelas ini, di kerdusin mulu sama lo, sih! Dah minggir!" Yura berseru sambil mendorong bahu Lukas. Sang empu hanya tersenyum kuda lalu melangkahkan kaki dari sana sambil melemparkan kedipan mata pada adik kelas yang Yura belum tahu siapa namanya ini.

"Duh, maafin temen gue ya. Emang disini yang waras gue doang. Eh mau ada apa? Duduk di kursi depan aja yuk," Dengan ramah Yura mengajak adik kelas tersebut untuk duduk di kursi koridor kelasnya. "Silahkan lanjut, ada apa nih?"

"Oh itu kak, kata Kak Angkasa, tolong kirimin contact manager nya band Enam Hari ke aku kak. Oiya, aku Lita. Kakak gak inget nama aku deh pasti," Lita hanya tertawa hambar di ujung kalimat. Yura mengangguk paham sambil mengeluarkan gawainya.

"Iya oke, id line lo mana? Sini biar gue add." Yura bertanya dengan mata yang masih lekat dengan ponsel nya.

"Litaarlita, ada gak kak?"

"Oke ada. Udah gue add sama kirim contact nya ya. Kalau gak bales-bales biar gue aja nanti yang chat. Oke?"

"Okedeh kak. Eh btw, kakak udah tahu di taruh di divisi mana?"

Yura berfikir sejenak. "Hm, kalau gasalah, gue di divisi acara? Bener?"

Lita mengangguk mantap. "Bener kak. Oh iya, kakak belum gabung ke grup panitia ya? Aku tambahin ya?"

"Iyaa, terserah lo aja. Ada yang mau di sampein lagi? Sebelum bel istirahat abis, nih."

Namun yang di dapat bukan jawaban. Tetapi hanya tatapan penuh arti yang Lita lemparkan pada Yura. Bel tanda istirahat pun berdering juga.

Baik Yura dan Lita lekas berdiri dari tempatnya. Saat hendak berpamitan, entah angin dari mana, ungkapan Lita membuat hari Yura sedikit terdistraksi.

"Kakak... Nggak ada apa-apa 'kan, sama Kak Angkasa?"

Ungkapan itu hanya di jawab sebuah tepukan pelan pada pundak Lita yang Yura beri. Sambil tersenyum manis, Yura meninggalkan Lita yang termenung menunggu jawaban yang sebetulnya ia sudah tahu apa itu.

ʕ•ε•ʔ

"Lo udah dapet balasan chat dari manager band Enam Hari?" Angkasa bertanya sambil menaruh semangkuk mie ayam dan segelas es teh manis di atas meja kantin.

Yura yang masih sibuk dengan gawai nya menggeleng cepat sebagai respon. "Belum. Ini gue malah lagi chat an sama bang Jae. Katanya nanti sama dia ditanyain juga. Oh, terus katanya kalau mau ngajuin proposal dana ke Bunda gue juga bisa." Setelahnya Yura menaruh gawai nya dan melanjutkan acara makan mie ayam.

Angkasa mengangguk sambil menyeruput es teh. Kebetulan yang menyenangkan bagi Angkasa, menemukan Yura yang sibuk ngantin sendiri tanpa teman-temannya. Angkasa tebak, sepertinya teman-temannya sudah pulang duluan. Dan sudah dipastikan, Yura menunggu Angkasa secara tidak langsung. Karena ia tidak membawa sepeda motor! Iya kan?!

"Hm, Sa?" Yura tiba-tiba ingin bertanya perihal Lita kepada Angkasa.

"Kenapa?" Angka menjawab dengan mulut yang penuh dengan mie. Lucu sekali melihat pipi nya yang mengembung.

"Tadi... Lita tiba-tiba ke kelas gue," Yura mengalihkan pandangannya ke mangkuk mie di hadapannya. "Out of nowhere, dia nanya hal yang sedikit menganggu gue." Sibuk menggulung mie, Akhirnya Yura menatap kedua bola mata Angkasa sambil menyuapkan mie tersebut sampai mulutnya terisi penuh.

"Dia emang ngomong apa? Pasti ada kaitannya sama gue, nih." Dengan percaya diri nya Angkasa menjawab. Tapi memang benar sih, ini ada sangkut pautnya dengan Angkasa.

"Dih, pede banget! Tapi bener sih. Nih ya, katanya tuh dia bilang gini," Yura mengambil ancang-ancang untuk menirukan gaya bicara Lita. "Kakak... Gak ada apa-apa 'kan sama Kak Angkasa? Gitu." Yura sukses menirukan gaya bicara Lita karena Angkasa kini tertawa terbahak.

"Kok bisa mirip sih anjir! Yaampun capek gue. Lo ada bakat meniru orang, Ra."

Yura memelototkan matanya. "Ck, udah udah. Menurut lo gimana?"

Angkasa menyudahi tawanya. Ia mencoba serius. "Ya gak gimana-gimana. As we know, kalau perasaan seseorang itu gak bisa dipaksa, Ra. Bedanya, dia ngerasain itu sendirian. Udah."

Yura sibuk mengaduk-aduk gelas berisi es teh manis miliknya. Ia jadi ikut berfikir juga. Benar. Perasaan seseorang itu tidak bisa dipaksa. Sudah menjadi hak masing-masing manusia juga untuk menaruh perasaan pada manusia lain.

Karena Yura masih melamun, Angkasa menambahkan lagi. "Udah, gak usah difikirin banget. Yang penting lo ngerti perasaan lo sendiri saat ini. Gak usah fikirin yang lain. Toh gue juga gak ambil pusing kalau misal ada seseorang yang naruh perasaan yang sama kayak gue ke lo."

Yura mendongakkan kepalanya menatap Angkasa dengan intens. Mencari-cari celah adakah kebohongan disana. Nyatanya nihil. Yang Yura temukan hanya binar tulus yang Yura harap bertahan selamanya.

[to be continued]

Newest chapter will be updated soon!

Ok, fyi book ini bakal kurang dari 30 chapter. So, wait for the main conflict yes? Thankyou for reading this story, may God always with you!

Letting GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang