29

15 0 0
                                    

Letting Go

Ada pepatah kalau luka jarang memaafkan pisau. Meskipun waktu berlalu, ingatan tentang kejadian yang menyakitimu akan terus bergema. Dan hatimu akan secara sengaja memberikan ruang tempat bersemayamnya luka-luka itu. Entah sekuat apa kau mencoba melupakannya, hal itu masih saja sulit untuk dilakukan. Saat ini, ragamu mungkin berujar bahwa kau sudah memaafkannya, namun jiwamu mengatakan sebaliknya. Kau masih saja bergelut dengan pikiranmu sendiri. Memutuskan apakah sudah patut untuk memaafkan dan melupakannya. Tetap saja, kau belum menemukan jawabannya. Namun tetap, hidup terus berjalan dan kau tidak boleh terjebak dalam ruangan buntu yang kau ciptakan sendiri.

"Yura!"

Merasakan namanya dipanggil, wanita yang sedari tadi sibuk membaca secarik kertas  itu lantas menutup kertasnya dan memasukkannya kedalam tote bag kesayangannya.

"Tadi mama nelfon, katanya malam ini jadi datang buat makan malam bareng sama papa?"

Hazel, lelaki yang menyandang gelar dari kekasih menjadi kakak itu sibuk menunggu jawaban yang keluar dari mulut Yura. Yura mengangguk, "Iya. Nanti gue dateng. pulangnya bareng aja supaya gak ribet,"

Pria itu menyugar rambutnya yanng semakin memanjang. Mungkin dilain hari, Yura tak akan heran jika Hazel membintangi iklan shampoo. "Oke, gue duluan ya! ada kelas abis ini."

Yura tersenyum kecil, menatap penuh hangat lelaki dihadapannya. "Iya. Semangat belajarnya, kak."

Hazel yang sudah berjalan itu lekas berbalik menatap Yura heran. Ingin memastikan yang ia dengar adalah nyata. "Apa? lo barusan panggil gue dengan sebutan 'kak'? tolong bilang ini bukan mimpi!"

Yura tertawa cerah. "Iyaaaaaa. Semangat belajarnya kakakku. jangan sibuk jadi buaya darat!"

Hazel berteriak gemas. "Yaampun, penantian gue selama tiga tahun ini gak sia-sia. akhirnya gue bisa dapet gelar kakak."

"Udah-udah. sanaaa pergi ke kelas!"

Hazel mengacak gemas rambut Yura. "Dadah adikku cantik!"

Tiga tahun.

Semuanya berjalan dengan semestinya meskipun banyak sekali lika-likunya. Setelah Dia pergi, Ah- bahkan Yura tidak ingin menyebut-nyebut namanya lagi di dalam kamus hidupnya. Yura memutuskan untuk pergi untuk meminta bantuan profesional. Setelah beberapa kali konsultasi, dipastikan bahwa Yura memiliki diagnosa kecemasan berlebih dan serangan panik yang berefek pada kegiatannya sehari-hari. Kalau orang lain pikir hanya masalah kisah cinta remaja sma, kalian keliru. Yang Yura rasakan lebih dari itu. Angkasa berperan besar dalam beberapa perkembangan diri Yura. He's a nice guy, at once. Sampai akhirnya Yura sendiri yang terluka akan ekspetasinya yang berlebihan pada manusia. Yura tidak tahu- bahkan tidak mau tahu lagi bagaimana kabarnya sekarang.

Yura sadar, bahwa tiap-tiap orang memiliki caranya sendiri dalam menghadapi masalah. Dan, Yura sadar pula bahwa ia dan Angkasa tidak sepaham akan hal itu. Yura yang merasa sangat senang bila ada orang membagi masalahnya, dan Angkasa yang merasa terbebani dan membebani seseorang bila ia membagi masalahnya. Dua hal ini yang membuat Yura dan Angkasa saling tersakiti hal yang sebetulnya tidak akan saling menyakiti. Yura yang merasa tidak berguna dan tidak pantas untuk ada disamping Angkasa karena tidak bisa ada disampinnya saat ia kesulitan. Sedangkan Angkasa yang merasa bersalah dan tidak ingin Yura cemas akan masalah yang sedang ia hadapi. Semua melebur begitu saja tanpa arti.

Yura terkadang masih saja menyalahkan keadaan, begitu juga Angkasa. Memaki besar karena dirinya yang pengecut. Tetap saja, mereka hanya remaja berusia tujuh belas tahun yang masih mencari apa arti sebenarnya dari hidup yang mereka jalani.

Masih memandang langit yang sama, dalam harap, dalam diam, dua insan yang sempat dipertemukan itu mengucap do'a yang sering mereka gumamkan.

"Tuhan, maafkan hambamu yang lalai, dan tolong biarkan dia bahagia karena dirinya. Hapuskan rasa gelap hati ini agar kami bisa tenang berjalan di jalan yang kami pilih. Amin."

THE END

Letting GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang