Unpredictable Arga

1.8K 64 20
                                    

"Ya ampun denger-denger katanya tadi pagi si Aira ke sekolah bareng cowok dari sekolah lain ya?"

"Nah iya gue juga denger gitu, siapa sih tuh cowok?"

"Gak tau juga tuh. tapi katanya sih tuh cowok bukan cowok sembarangan, mana katanya juga cakep banget lagi."

"Kok bisa ya cewek dengan muka datar dan judes kayak dia bisa ngegaet cowok cakep dari sekolah lain? dia pake taktik apa sih? penasaran deh gue."

"Iya diem-diem ternyata tuh cewek lumayan kacau juga ya, mungkin aslinya agresif kali, tapi sok-sokan aja di depan orang lain."

"Halah palingan juga pake guna-guna kali, mana mungkin ada cowok waras yang bakalan suka sama dia, cih, gue sih kalo jadi cowok ya ogah sih suka sama dia mukanya aja selalu datar dan kayak gak punya ekspresi gitu, mana jarang ngomong lagi terus auranya juga nyeremin banget lagi kayak setan."

"Bener tuh, walaupun tampangnya lumayan sih, tapi dengan auranya yang nyeremin banget dan tingkah lakunya yang kayak gitu sih, kayaknya gue juga kalo jadi cowok ogah deh buat deket-deket sama dia."

"Tuh cewek keliatannya aja kayak sok jual mahal gitu ya, tapi ternyata diem-diem juga pinter ngegaet cowok juga. Emang dasar sok-sokan aja tuh."

Aira diam-diam memutar bola matanya mendengar percakapan norak dari orang-orang yang sedang membicarakan dirinya tersebut. Ini bukanlah gosip pertama yang didengarnya hari ini yang membahas tentang hal menghebohkan yang telah dilakukannya pada pagi hari ini.

Aira sebenarnya merasa tidak ada suatu hal yang begitu luar biasa sama sekali dari kedatangannya ke sekolah bersama seorang pemuda berseragam sekolah lain, seharusnya orang-orang tidak perlu melebih-lebihkannya. Ya, walaupun harus ia akui bahwa berangkat ke sekolah dengan diantar oleh seorang laki-laki sama sekali bukanlah hal yang mencerminkan dirinya sama sekali, ia sendiri pun sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk melakukannya, terlebih lagi jika laki-laki tersebut adalah seseorang yang masih begitu asing baginya seperti Alden.

Tapi ya sudahlah, Aira memilih untuk mengabaikan setiap hal yang orang lain ucapkan tentang dirinya. Apapun itu ia tidak peduli, karena dengan siapun ia berangkat ke sekolah seharusnya tidak menjadi urusan siapapun sama sekali.

Merasa tidak tertarik untuk menyantap makanan apapun saat ini, Aira berjalan menuju lemari pendingin minuman dan mengambil sebotol kopi dalam kemasan dari sana lalu membayarnya sebelum kemudian melipir pergi meninggalkan kantin dengan sebotol kopi dingin di tangan kanannya.

Langkah kaki Aira berjalan menyusuri lapangan luas untuk menuju tangga yang akan membawanya ke rooftop. Ia akan menghabiskan waktunya disana selama jam istirahat yang singkat sebelum kembali ke kelasnya ketika bel masuk kembali berbunyi.

Baru berjalan beberapa langkah melewati tangga rooftop terakhir, langkah kaki Aira terhenti ketika matanya menemukan punggung tegap seseorang berseragam putih abu-abu yang berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang bertumpu pada dinding pembatas rooftop yang hanya setinggi pinggang pemuda itu. Tidak perlu berjalan lebih dekat untuk mengetahui siapakah sosok pemilik punggung tegap itu, entah bagaimana caranya Aira seakan sudah sangat mengenali pemilik punggung tegap itu tanpa perlu berjalan mendekat untuk melihat wajahnya.

Aira mematung bimbang di tempatnya, bimbang untuk memilih haruskah ia tetap melanjutkan tujuannya untuk menghabiskan waktu istirahatnya di rooftop tetapi dirinya akan berduaan saja dengan Arga disana, atau sebaiknya ia berbalik dan kembali ke lantai dasar saja dan menghabiskan waktu istirahatnya di taman belakang sekolah atau di perpustakaan sembari membaca sebuah novel yang ia rasa cukup menarik disana.

ARGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang