Aira berbaring terlentang di atas tempat tidurnya, matanya menerawang memandangi langit-langit kamarnya yang hanya terlihat samar-samar karena pencahayaan di dalam kamarnya yang telah dimatikannya. Hanya ada seberkas cahaya yang berasal dari halaman belakang rumahnya yang sedikit menyelinap masuk melalui gorden pintu kaca kamarnya yang tidak tertutup dengan sempurna.
Suasana di kamar begitu sunyi, hanya ada detakan jarum jam dinding yang menggema mengisi kesunyian malam.
Jam dinding telah menunjukkan waktu yang telah memasuki pertengahan malam, saat dimana setiap orang seharusnya sudah jatuh terlelap dalam tidurnya. Namun hal itu tidak berlaku bagi Aira, ditengah gelapnya kamarnya, kedua matanya masih betah terbuka, ia tidak merasakan rasa kantuk sama sekali.
Tubuhnya kian lelah, namun kedua matanya sama sekali tidak dapat terpejam dengan tenang. Bagaimana caranya ia bisa terlelap dalam tidur yang tenang ketika masih ada begitu banyak hal yang memenuhi pikirannya saat ini?
Berbagai macam hal memenuhi kepalanya, segala hal yang terjadi dalam hidupnya bercampur aduk di dalam kepalanya.
Aira memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Ketika matanya menatap pintu kaca kamarnya yang mengarah ke halaman belakang rumahnya, kilasan balik sebuah peristiwa seketika ikut berputar di dalam kepalanya, seakan tidak ingin ketinggalan untuk ikut menambah kekacauan di dalam pikirannya.
Angin bertiup kencang di malam akhir bulan September kemarin, membuat Aira merapatkan sweater di tubuhnya ketika ia melangkahkan kakinya melewati pintu kaca kamarnya yang baru saja dibukanya.
Seseorang dengan hoodie hitam yang menutupi kepalanya tampak telah berdiri dengan membelakanginya tidak jauh dari tempatnya, membuat Aira segera bergegas menghampiri sosok tersebut.
"Hei." Sapa Aira pelan yang membuat sosok berhoodie hitam itu membalikkan tubuhnya.
Di bawah gelapnya malam yang hanya diterangi sinar bulan yang berpendar redup di malam akhir bulan September yang sedikit mendung kala itu, Aira mencoba menelisik raut wajah pemuda di hadapannya yang terlihat rumit kala itu.
Setelah dua menit berlalu, belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut sosok di hadapannya, membuat Aira mulai mencoba membaca arti dari raut wajah pemuda itu. Namun yang terjadi hanyalah dirinya yang kian frustasi ketika tidak dapat menemukan jawaban apapun setelah berusaha menerka-nerka arti raut wajah sosok tersebut dengan menatapnya lekat.
Bukannya ia tidak menyadarinya, Aira sangat menyadari bila ada sesuatu yang tidak baik pada hubungannya dan sosok di hadapannya itu kini. Aira cukup menyadari tentang perubahan sikap dari pemuda dihadapannya itu yang akhir-akhir ini kian memberikan jarak di antara mereka.
"Aira."
Bahkan seminggu terakhir ini, Aira tidak pernah lagi mendengar suara itu memanggil namanya.
"Hm?" Raut wajah Aira tampak menunggu apa yang akan dikatakan pemuda itu selanjutnya.
Namun apa yang ia dengar selanjutnya, membuat Aira tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
Namun ketika Aira kembali mencoba menelisik raut wajah dari sosok di hadapannya itu, Aira harus memaksa dirinya sendiri untuk menerima kenyataan bahwa apa yang didengarnya memanglah benar adanya.
Raut wajah dingin tanpa riak apapun dari sosok di hadapannya telah menjelaskan semuanya kepada Aira bahwa ia memang harus menerima kenyataan yang ada. Sosok di hadapannya ternyata telah membentuk benteng tinggi yang membuatnya kini terasa begitu asing untuk Aira.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGARA
Teen FictionArgara, si pemilik mata setajam elang yang menyimpan begitu banyak misteri. Namun di balik sikap dinginnya, satu hal yang tidak akan pernah orang lain ketahui, bahwa, Arga tidak pernah egois ketika ia telah benar-benar mencintai satu orang, ia akan...