Dengan lampu kamar yang tidak dinyalakan, Aira duduk bersisian dengan Arga di atas karpet berbulu di samping ranjangnya. Mereka duduk bersisian sembari bersandar pada kaki ranjang Aira sembari menatap keluar pintu kaca yang memperlihatkan langit malam di atas halaman belakang rumah Aira.
Saat ini kondisi Aira sudah lebih membaik, demamnya juga sudah mulai turun, walau ia tidak yakin apakah ia akan mulai masuk ke sekolah mulai besok terlebih lagi setelah kehebohan yang terjadi di sekolah yang juga menyeret-nyeret namanya tersebut.
"Kenapa kamu ngelakuin hal itu?"
Arga menoleh dan menatap wajah Aira secara langsung yang hanya terlihat samar-samar berkat cahaya dari luar pintu kaca di hadapan keduanya.
Walau Arga tidak pernah mengatakannya, tapi Aira tau bila Arga lah sosok yang melakukan semuanya. Karena hanya Arga yang mengetahui tentang apa yang telah Cecil lakukan kepadanya di toilet sepi waktu itu.
Aira sama sekali tidak melaporkan apa yang terjadi kepada dirinya sebelum akhirnya namanya diseret-seret dalam kasus yang terjadi kepada Cecil yang akhirnya memaksanya untuk mengirimkan bukti video rekaman atas apa yang sebelumnya telah Cecil lakukan kepadanya. Jadi pada saat itu satu-satunya sosok yang mengetahui tentang apa yang telah Cecil lakukan kepadanya hanyalah Arga seorang saja.
Aira juga masih mengingat dengan jelas bagaimana kepanikan dan kekhawatiran terlihat jelas pada wajah Arga pada saat menemukannya yang telah begitu kedinginan karena seluruh tubuhnya yang telah basah kuyup, kulitnya bahkan mulai membiru saat itu. Bukan hanya panik, Aira juga dapat melihat sirat kilatan kemarahan pada wajah Arga saat itu yang menjadi pertanda tidak baik untuk siapapun orang yang menjadi pelaku atas apa yang terjadi kepada dirinya.
"Aku ngelakuin hal itu karena aku gak suka atas apa yang udah dia lakuin ke kamu sebelumnya, aku udah coba untuk peringatin dia berkali-kali, tapi kelihatannya dia gak menganggap itu serius sama sekali. Mungkin apa yang aku lakuin kali ini akan jadi peringatan terakhir, dan dengan kejadian itu aku harap dia gak akan punya keberanian buat gangguin kamu lagi."
Bukan hanya berhenti mengganggunya, Aira cukup yakin bila Cecil mungkin sudah dirundung trauma berat saat ini. Bagaimana tidak? Cecil harus terkurung semalaman di ruangan sempit itu dengan cairan darah di tubuhnya. Siapa yang akan tetap baik-baik saja jika mengalami hal seperti itu?
Aira menelusuri wajah dan kedua mata Arga di bawah penerangan yang begitu minim itu.
"Selain itu, aku juga masih ngerasa bersalah sama kamu, seandainya aku datang lebih awal mungkin... kamu gak perlu sampai sakit kayak gini."
"Hey." Aira menggelengkan kepalanya cepat, tangan kanannya meraih sisi wajah Arga. "Bukan salah kamu, kamu gak perlu ngerasa bersalah soal itu sama sekali. Karena kamu juga udah bantuin aku waktu itu. Kalau gak ada kamu... aku udah gak tau lagi aku bakalan gimana, mungkin aku akan bernasib sama kayak Cecil, harus terkunci semalaman di dalam toilet itu."
Arga menggelengkan kepalanya cepat, ia tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi kepada Aira. Ia jelas tidak akan membiarkan hal itu untuk terjadi kepada Aira sama sekali. Jika sampai hal itu terjadi kepada Aira, Cecil mungkin akan mendapatkan pembalasan yang lebih dari pada apa yang telah gadis itu dapatkan.
"Aku udah nonton video yang kamu kirimin itu." Wajah Arga kini menyiratkan kilatan kemarahan yang begitu besar. "Aku udah dengar kalau di dalam video itu... Cecil bilang kalau dia mau kamu terkurung di dalam toilet sempit itu sampai berhari-hari karena gak akan ada siapapun yang bakalan datang buat nolongin kamu, sampai akhirnya ada orang yang nemuin kamu dan kamu udah..."
Aira segera menyentuh lengan Arga, berusaha meredam gejolak emosi yang begitu besar yang begitu terasa dari raut wajah dan suara Arga yang terdengar menahan amarah. "Udah... gak usah dilanjutin." Aira menggelengkan kepalanya beberapa kali sembari mengusap lembut bahu Arga, berusaha menenangkan emosi yang masih bergejolak di balik dada Arga.
Arga meraih kedua sisi wajah Aira ke dalam kedua telapak tangannya yang besar dan hangat. "Kamu harus tau... aku sama sekali gak menyesal atas apa aku lakuin ke Cecil."
Aira rasa apa yang Arga ucapkan akan terdengar sangat buruk bagi siapapun yang berempati atas apa yang terjadi kepada Cecil, karena mungkin saja Cecil saat ini sudah dirundung trauma berat atas apa yang Arga lakukan kepadanya.
Ketika Aira membuka mulutnya hendak membuka suaranya, Arga segera menggelengkan kepalanya kembali. "Apapun yang kamu pikirkan tentang aku, kamu harus tau, aku sama sekali gak menyesal atas apa yang udah aku lakuin ke Cecil." Raut wajah Arga berubah dingin. "Dia pantas buat menerima pembalasan dari aku itu atas apa yang udah dia lakuin ke kamu, aku bahkan berharap... dia terkurung disana selama berhari-hari seperti apa yang dia harapin terjadi ke kamu, sampai akhirnya ada orang yang nemuin dia disana dan dia udah..."
Aira segera menyentuh lengan Arga kembali, ia menggelengkan kepalanya pelan. "Udah gak usah dilanjutin. Aku ngerti kalau kamu marah atas apa yang Cecil lakuin ke aku dan aku gak akan nyalahin kamu atas apa yang kamu lakuin ke Cecil."
Di bawah pencahayaan yang minim itu, Arga menatap kedua mata Aira dengan dalam. "Apa kamu masih sakit?" Arga membawa punggung tangan kanannya ke atas dahi Aira.
"Aku udah jauh lebih baik."
"Masih agak hangat." Ucap Arga sembari menarik tangannya kembali. "Apa kamu rasa apa yang didapatin Cecil udah sepadan?"
Aira mengerti apa maksud Arga, maka dari itu ia segera mengangguk cepat. "Udah." Aira memasang senyum tipis. "Udah cukup."
"Kalau kamu masih ngerasa semuanya belum sepadan aku—"
Aira segera menggeleng cepat untuk memotong ucapan Arga. "Udah, semuanya udah sepadan." Ucap Aira cepat.
Aira tidak ingin Arga melakukan hal yang lebih buruk lagi jika ia mengatakan bila semuanya belum sepadan. Bukan karena ia khawatir terhadap hal yang lebih buruk apa lagi yang akan terjadi kepada Cecil, mengingat bila dirinya cukup yakin bila Arga bahkan mampu melakukan hal yang berkali-kali lipat lebih parah dari pada apa yang sebelumnya ia lakukan kepada Cecil. Hanya saja Aira juga cukup khawatir jika apa yang Arga lakukan akan tercium juga pada akhirnya, dan Arga akan dihukum sebagai pelaku kejahatan, jika Arga lebih nekat lagi dalam segala aksi balas dendamnya itu.
Aira menyandarkan kepalanya pada bahu Arga, tangannya menggenggam tangan kanan Arga erat. "Semua yang kamu lakuin udah lebih dari cukup untuk aku." Ucap Aira berusaha untuk lebih meyakinkan Arga. "Makasih atas semua kepedulian kamu untuk aku selama ini." Aira tersenyum tipis. "Aku bersyukur aku punya kamu, aku percaya kamu selalu bisa aku andalin."
Kali ini sudut-sudut bibir Arga tertarik naik. Ia senang jika Aira merasa bahwa dirinya bisa gadis itu andalkan.
Aira mendongak menatap langit biru yang jauh di atas sana. Kira-kira seperti itulah awal kedekatannya dan Arga, semuanya berawal karena Arga yang sering membantunya setiap kali ia mendapatkan penindasan dari Cecil dan kedua temannya itu.
Sejak kejadian yang menimpa Cecilia itu, bukan hanya Cecil yang enggan untuk mencari gara-gara dengan Aira lagi, tapi bahkan hampir semua orang enggan untuk berdekatan dengannya. Mereka menaruh begitu banyak asumsi terhadap dirinya dan sosok penuh misteri yang selama ini berada di belakangnya.
Seandainya saja Cecil tau bahwa sosok yang selama ini menjadi tameng yang melindunginya tersebut sudah tidak ada lagi, mungkin gadis itu sudah mencoba untuk mengganggu hidupnya kembali saat ini.
***
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGARA
Teen FictionArgara, si pemilik mata setajam elang yang menyimpan begitu banyak misteri. Namun di balik sikap dinginnya, satu hal yang tidak akan pernah orang lain ketahui, bahwa, Arga tidak pernah egois ketika ia telah benar-benar mencintai satu orang, ia akan...