Jika seseorang bertanya kepadanya, apakah ia siap menerima perjodohan gila ini yang akan mengubah seluruh hidupnya nanti? Jawabannya ia tidak tau.
Jika seseorang bertanya tentang bagaimana perasaannya menerima perjodohan semacam ini? Apakah ia bahagia? Jawabannya ia tidak tau.
Semuanya terlalu tiba-tiba, Aira baru saja menginjak tahun terakhir di Sekolah Menengah Atas, dan di saat ia masih begitu kalut dan bingung dengan perasaannya sendiri, kedua orang tuanya tiba-tiba memberi tahunya tentang rencana yang telah mereka siapkan untuk masa depannya tanpa sepengetahuannya sama sekali. Ini bukan sebuah negosiasi, ia bahkan tidak memiliki pilihan untuk menolak, seluruh rencana yang telah dipersiapkan orang tuanya tersebut sudah matang, jadi tidak peduli sebanyak apapun ia ingin menolak, semuanya akan tetap berjalan sesuai dengan rencana mereka.
Jadi jika saat ini ada seseorang yang bertanya tentang bagaimana perasaannya? Dan apakah ia baik-baik saja dengan semua hal gila ini? Aira tidak tau, ia bahkan tidak lagi mengerti tentang perasaannya sendiri, di satu sisi ia rasa ia juga tidak baik-baik saja menghadapi semua hal gila ini.
Hanya saja, sayangnya tidak ada yang bersedia untuk sekedar bertanya tentang perasaannya. Kedua orang tuanya pun sama. Mereka bilang, cukup jalani saja semua ini, semua yang telah dipersiapkan ini adalah hal yang terbaik untuknya.
Jadi mungkin memang sebaiknya lupakan saja tentang perasaan yang dirasakannya, itu tidak penting bukan? Ya, seperti yang mereka katakan, cukup jalani saja. Entahlah, ia pun enggan memikirkannya lebih jauh.
Jika dulu mungkin ia masih memiliki alasan besar untuk menolak semua hal gila ini, namun saat ini ia sudah tidak memiliki alasan besar itu lagi. Semua itu sudah tidak berarti lagi.
Kekecewaan besar yang masih bersarang di hatinya hingga saat ini pun membuatnya masih kehilangan arah dan kesulitan untuk memahami perasaannya sendiri.
Di saat ia masih merasakan kekecewaan dan kebingungan tentang perasaannya sendiri, lalu ide perjodohan ini pun terjadi. Lalu bagaimana ia bisa menolaknya di saat satu-satunya alasan besar yang dapat membuatnya menolak seluruh kegilaan ini pun sudah tak lagi berarti sama sekali.
Percuma, semuanya percuma.
Jadi biarkan saja ia menjalani semua yang telah direncanakan untuknya ini. Mungkin saja orang tuanya benar bahwa pilihan mereka memanglah yang terbaik untuknya.
Karena... terakhir kali ia memilih, ia benar-benar telah salah memilih.
Aira tidak sadar bila ia telah melamun sepanjang perjalanan, hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi telah tiba di tempat tujuan.
Aira menarik napasnya dalam sembari berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin memang inilah yang terbaik untuknya. Mungkin, perjodohan gila ini bisa membuatnya menghilangkan hal gila lain dari kepalanya yang akhir-akhir ini begitu mengganggu kewarasannya.
Mungkin melalui perjodohan ini adalah kesempatan yang tepat untuknya menyusun kembali kepingan perasaannya yang pernah hancur dan tercerai-berai.
Lagipula sudah hampir satu bulan berlalu, Aira juga tidak ingin berlarut-larut lebih lama lagi dalam kesedihannya, ia ingin segera menyusun kembali setiap kepingan perasaannya yang pernah hancur. Dalam kurun waktu hampir satu bulan ini, walau tidak mudah, ia sudah berusaha menyusunnya kembali sebanyak yang ia bisa, mungkin sedikit lagi dan melalui rencana perjodohan gila ini ia bisa kembali mengembalikan seluruh kepingan perasaannya yang pernah tercerai-berai untuk dapat kembali utuh seperti sedia kala.
Aira yakin ia bisa melakukannya. Ia yakin ia bisa mengembalikan kembali kepingan perasaan dan kewarasannya yang pernah tercerai-berai untuk dapat kembali utuh sepenuhnya seperti sedia kala. Ia yakin ia bisa melupakan sosok manusia satu itu.
Karena pada akhirnya ia memang harus melupakannya.
Aira beranjak keluar dari dalam mobil dengan setitik harapan baru, harapan bahwa semua ini mungkin memanglah jalan yang terbaik untuknya. Ia butuh pengalihan, dan mungkin rencana perjodohan gila ini akan benar-benar dapat membantunya menyusun kembali beberapa kepingan perasaannya yang masih belum bisa utuh sejak hal mengejutkan yang menimpa hidupnya sekitar satu bulan yang lalu.
Hembusan angin malam yang dingin dan menusuk kulit, menyambut Aira ketika ia menginjakkan kakinya di luar.
Aira mengabaikan seluruh rasa dingin yang menyapu lengannya, dan memilih untuk tetap berjalan mengikuti langkah kedua orang tuanya yang berjalan menuju pintu restoran di depan mereka.
Aira terus mengikuti langkah kedua orang tuanya menuju sebuah meja yang telah diisi oleh pasangan paruh baya dan seorang pemuda berkemeja rapi yang telah menunggu kehadiran mereka di sana.
Masih tanpa merasakan gejolak perasaan apapun, Aira mendudukkan tubuhnya pada salah satu kursi di meja yang telah diisi oleh orang-orang yang terasa asing untuknya tersebut, kemudian menyambut sapaan hangat dan pertanyaan ringan dari pasangan paruh baya yang berada di meja tersebut dengan baik dengan senyuman tipis yang berusaha ia pertahankan agar tetap terukir pada wajahnya.
Lalu setelah beberapa pertanyaan dan basa-basi ringan pun berlalu, pasangan paruh baya itu kemudian beralih bercakap-cakap ringan dengan kedua orang tua Aira. Dan disaat itulah mata Aira jatuh pada pemuda yang duduk rapi dengan punggung tegap di seberang meja yang berhadapan langsung dengannya. Pemuda itu melemparkan senyuman tipis dan hangat untuknya yang kemudian ia balas dengan sebuah anggukan kepala ringan dan sebuah senyuman tipis yang begitu samar dan tidak berarti.
Lalu sekonyong-konyong ketika Aira menggeser tatapannya dari pemuda di hadapannya itu, matanya justru menangkap pemandangan yang begitu mengejutkannya dari luar dinding kaca yang menampakkan keadaan jalanan dan orang-orang yang berlalu lalang di luar sana. Namun bukan jalanan ataupun orang-orang yang berlalu lalang di luar sana yang begitu mengejutkannya, tetapi sosok dengan hoodie hitam yang menutupi kepalanya yang berdiri tegap dan menatap lurus kepadanya dari balik dinding kaca tersebut yang membuat Aira terpaku di tempatnya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk begitu saja. Perasaan terkejut, tidak percaya, bertanya-tanya dan berbagai perasaan lainnya yang bercampur aduk begitu saja.
Lalu sekonyong-konyong pemuda di seberang mejanya tersebut memutar kepalanya untuk ikut melihat apa yang sebenarnya Aira lihat hingga membuat gadis itu begitu terpaku, sosok dengan hoodie hitam tersebut segera berbalik dan melangkah pergi begitu saja.
Pemuda di hadapan Aira mengernyit ketika ia tidak menemukan apapun atau siapapun di balik dinding kaca tersebut selain orang-orang yang hanya berlalu lalang di luar sana, kemudian pemuda itu kembali berbalik untuk menghadap Aira yang masih terpaku diam di tempatnya dengan sisa-sisa rasa terkejutnya dan berbagai pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya.
Arga?
***
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGARA
Teen FictionArgara, si pemilik mata setajam elang yang menyimpan begitu banyak misteri. Namun di balik sikap dinginnya, satu hal yang tidak akan pernah orang lain ketahui, bahwa, Arga tidak pernah egois ketika ia telah benar-benar mencintai satu orang, ia akan...