Second Home

209 16 0
                                    

Pagi pun tiba. Cahaya mentari menyeruak masuk di setiap ventilasi. Octa membuka matanya. Menatap langit-langit ruangan yang terasa asing. Dia pun mendudukkan tubuhnya.

"Rumah siapa nih?" gumamnya sambil mengamati sekitar.

Perlahan dia membuka selimut dan turun dari kasur. Langkah kakinya membawanya menyusuri tiap sisi kamar bernuansa monokrom itu. Tak banyak barang di sana. Hanya ada kasur queen size, lemari besar, nakas, karpet berbulu, cermin panjang, dan sofa yang masing-masing jumlahnya satu. Ada juga kamar mandi yang memiliki fasilitas lengkap.

Octa memilih membuka lemari. Dia sedikit terkejut saat melihat isinya. Berbagai jenis pakaian wanita ada di sana. Diambil satu kemeja hitam yang menarik perhatiannya. Dia berlari kecil ke cermin yang berdiri di sudut kamar dan mencoba kemeja itu.

Senyumnya merekah saat kemeja itu terlihat cocok di tubuhnya. Sayang, dia tak tau kemeja itu milik siapa. Akhirnya dengan lesu dia membuka kembali kemejanya dan mengembalikannya ke lemari.

Krukkk krukkk

Cacingnya mulai berdemo. Octa harus segera mencari makanan untuk meredamnya. Dia pun keluar dari kamar asing itu.

Kepalanya menoleh ke kanan-kiri, matanya menelisik sekitar. Banyak lukisan abstrak yang menghiasi dinding. Ada pula empat pintu yang Octa sendiri tak berani untuk membukanya. Siapa tau ada psikopat di dalam, pikirnya.

Octa menghentikan langkahnya. "Oh ya, semalem kan gue lagi sama Rasyid, apa ini rumah Rasyid?"

Kepalanya kembali menoleh ke kanan-kiri. "Syid?! Rasyid?!"

Beberapa kali memanggil tapi, tak kunjung ada jawaban. Dia pun beralih menuruni tangga. Lagi-lagi lukisan abstrak memenuhi pandangannya.

Decakan pelan keluar dari mulutnya.  "Dari tadi yang gue liat cuma lukisan abstrak, ini yang punya rumah seabstrak apa ya wujud dan kehidupannya?"

Selesai menuruni anak tangga, Octa kembali mengamati sekitar. Di depannya ada sebuah ruang yang dilengkapi tv, karpet besar berbulu, satu sofa panjang, dan ayunan rotan.

"Kayaknya ini ruang tamu tapi, ..."

Octa kembali melangkahkan kakinya. Melewati rak-rak tinggi yang membatasi dua ruang. Kini dirinya berada di sebuah ruang di mana ada tiga sofa, satu meja kaca, dan guci besar di sudut ruangan.

"Oh ini ruang tamu, berati yang tadi ruang keluarga?"

Octa berbalik. Matanya sedikit melebar saat melihat bingkai besar berisi foto keluarga Rasyid. "Jadi, bener ini rumah Rasyid? Gue baru tau dia punya rumah di sini." gumamnya.

Perutnya kembali berbunyi. Dia pun melanjutkan langkahnya. Dari ruang tamu dia berbelok ke kiri. Ada ruang makan dan dapur di sana. Inilah tujuan terbesarnya.

Octa langsung mengecek isi kulkas dan lemari yang ada di sana. Namun, tak ada bahan apapun yang bisa dimasaknya. Hanya ada roti tawar, selai kacang dan cokelat, susu, teh, dan kopi.

"Oke hari ini gue sarapan kayak bule." ujarnya sebelum membuat segelas teh dan mengambil empat lembar roti untuknya dan Rasyid.

---

Jam menunjuk angka delapan saat Octa tengah berjalan santai di sekitar rumah Rasyid. Suasana sejuk dan tenang berhasil menghilangkan sedikit rasa penatnya. Sudah lama sekali dia tak merasakan suasana seperti ini.

"Pagi,"

Octa menoleh saat telinganya menangkap suara serak Rasyid. "Pagi." jawabnya.

Octa mengangkat alisnya saat Rasyid memandang segelas teh di tangannya. "Mau?"

raShitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang