TPU Jeruk Purut

155 11 11
                                    

Octa berjalan memasuki kawasan pemakaman dengan tenang. Sebuket bunga mawar merah berada di pelukannya. Meskipun sudah lama tak berkunjung ke sana, Octa tetap hapal dimana letak makam mendiang ayahnya.

Sementara Rasyid, dia berjalan mengekori Octa. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Entah mengapa dia merasa kalau angin di daerah pemakaman lebih dingin dibanding daerah luar pemakaman. Bulu kuduknya pun meremang mengingat ini sudah hampir pukul 8 malam, di sana sudah sepi. Lagi pula siapa yang mau berziarah ke makam malam-malam begini?

Octa. Ya, Rasyid rasa hanya Octa yang berziarah malam-malam begini. Perempuan itu memang sudah gila. Dan naasnya perempuan gila itulah yang berhasil mengisi seluruh rongga di hatinya.

"Kok diem aja, Syid?"

"Hah?"

Octa berhenti dan berbalik menghadap Rasyid. "Lo masuk sini gak ngucap salam ya?"

Rasyid mengernyit. "Ngucap kok."

"Tapi kok dia tetep ngikutin lo?" tanya Octa sambil menunjuk ke belakang Rasyid. 

Tubuh lelaki itu lantas menegang mendengar pertanyaan Octa. "Sumpah tadi gue udah ngucap salam dan baca doa." ujarnya.

Octa mengulum bibirnya. Berusaha menahan tawa saat melihat raut wajah Rasyid yang menegang ketakutan. Dia berdehem. "Ya udah ayo lanjut jalan, lo baca-baca doa aja, takutnya dia nempel permanen di pundak lo."

Mata Rasyid melebar mendengar itu. Decakan keluar dari mulutnya. "Gak lucu sumpah, kita lagi di kuburan bukan di dufan."

Octa terkekeh lalu kembali melanjutkan langkahnya. Rasyid yang berjalan di belakangnya menjadi semakin waspada akibat perkataan Octa tadi. Kepalanya terus saja menoleh ke sekelilingnya. Keringat dingin mengucur seiring detakan jantung yang sudah tak terkontrol lagi.

"Oh ya, lo inget gak rumor yang melegenda tentang TPU ini?" tanya Octa tanpa menghentikan langkahnya.

Rasyid berdecak kesal. "Lo mending gak usah ngomong deh."

Octa terkekeh pelan lalu berdehem. "Menurut lo rumor itu bener gak?"

Rasyid mengernyit. "Rumor apaan? Gak usah ngadi-ngadi dah,"

"Itu loh yang katanya ada pastor kepala buntung, kepalanya ditenteng gitu, trus ada anjing yang ngikutin dia, seru kali ya kalo kita ketemu sama dia di sini? Kalo gua videoin trus post di Ig pasti viral,"

"Mau coba panggil pastornya gak?"

Rasyid lantas mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan Octa. "Sekali lagi lo ngomong, jangan harap besok lo bisa masuk kantor."

Octa terkekeh. "Bagus dong, orang-orang pada kerja gue rebahan di rumah."

Rasyid mendengus. Jalan pikiran Octa sepertinya perlu diluruskan.

"Masih jauh, Ta?"

Octa hanya menggeleng. Kemudian langkahnya berhenti di salah satu makam. Dia pun berjongkok lalu mencabut rerumputan yang tumbuh tinggi di makam mendiang ayahnya itu.

Suasana hening. Rasyid ikut mencabut rerumputan seperti yang Octa lakukan. Gerakan tangannya sangat cepat lantaran dia ingin ini semua cepat selesai dan mereka segera keluar dari area pemakaman.

Setelah merapalkan doa, Octa meletakkan buket bunga di dekat batu nisan ayahnya. Dikecup batu nisan itu, lalu diusapnya lembut. Sebuah salam perpisahan.

Suasana menghening setelahnya. Tidak ada yang membuka suara sepanjang perjalanan keluar makam. Ditambah semilir angin malam yang menyapu kulitnya. Hal itu membuat suasana semakin mencekam bagi Rasyid. Dia berkali-kali mendengus kesal saat merasa merinding tiba-tiba.

raShitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang