Ancol

100 7 0
                                    

"Baiklah, saya rasa pertemuan kita kali ini bisa saya cukupkan sampai di sini-oh hampir terlupa, hal terpenting yang harus selalu kita ingat adalah kita harus selalu melakukan dan meningkatkan komunikasi yang baik, saling terbuka, dan saling ringan tangan untuk segala persoalan bisnis kita."

Rasyid mengangguk mantap, "Pasti, Pak, sebisa mungkin pihak saya akan menghindari hal-hal yang akan merugikan kita."

Lawan bicaranya tersenyum, "Jujur, saya sangat kagum dengan Anda, maaf karena sebelumnya saya sempat meremehkan Anda yang saya pikir tidak akan bisa memimpin perusahaan ini karena masih sangat muda."

Rasyid ikut tersenyum, "Kalau begitu, terima kasih karena telah memberi saya kesempatan untuk unjuk kemampuan, saya harap kita bisa terus bekerja sama dengan baik."

"Mungkin lain kali kita harus bertemu di luar, hanya sebagai teman, tanpa membicarakan bisnis,"

"Wah, saya akan dengan sabar menunggu hari itu, karena saya tahu bagaimana padatnya jadwal Anda sebagai pemimpin dari dua perusahaan besar di Jakarta."

Tamu penting itu tertawa, "Tenang, saya akan jadwalkan hari itu secepatnya. Kalau begitu saya pamit, masih harus mendatangi rapat di Bandung."

Rasyid dan Octa ikut bangkit saat sang Tamu bangkit dan menyalami keduanya. "Mari, kami antar."

Ketiganya ke luar dari ruangan Rasyid. Begitu sampai di luar, dua bodyguard sang Tamu yang sejak tadi menjaga pintu turut menyusul di belakang. Masih ada perbincangan kecil selama perjalanan mereka menuju pintu depan kantor Rasyid.

Mobil sedan hitam yang menyilaukan sudah siap dinaiki pemiliknya begitu mereka tiba di pintu depan. Tak lupa, seorang supir berseragam hitam membukakan pintu belakang untuk sang Majikan. Dua bodyguard yang mengikutinya masuk ke mobil lain yang terparkir di belakangnya.

Setelah dua mobil itu hilang dari pandangannya, Rasyid menghela napas lega. "Woahh akhirnya selesai."

Octa memegang dadanya. "Huhh untung lancar."

Keduanya merasa sangat lega setelah pertemuan penting dadakan itu selesai. Pasalnya, mereka hampir membuat sang Tamu menunggu sangat lama karena terjebak kemacetan parah di jalan tol akibat dari kecelakaan. Nasib baik bagi mereka sebab sang Tamu sudah lama menjalin hubungan baik dengan perusahaan Rasyid sejak kepemimpinannya masih di pegang pak Wildan, ayahnya. Ditambah pertemuan itu memang terbilang sangat mendadak, jadi sang Tamu tidak ambil peduli soal waktunya yang terbuang untuk menunggu Rasyid.

"Siang mau makan apa?" tanya Rasyid saat keduanya berbalik dan berjalan ke arah lift.

Octa menekan tombol lift. "Mmm.. nasi padang?"

"Oke, btw lo mau nonton Ais jam berapa?" Rasyid membiarkan Octa masuk ke dalam lift lebih dulu.

"Acara Ais sih mulainya jam 1,"

"Sampai jam?"

"Jam 4an mungkin?" jawab Octa ragu.

"Yaudah lo jalan jam 2 gak papa? Soalnya nanti habis makan siang kita harus rombak beberapa jadwal rapat, otomatis jadwal gue yang lain juga berubah, kan?"

Octa mengangkat dua jempolnya. "Oke."

Rasyid tersenyum, lalu menepuk pelan pucuk kepala sekretarisnya itu. "Semangat, Beb."

---

Jam menunjuk pukul 13.47 saat Octa selesai merapikan jadwal Rasyid. Langsung saja dirinya bangkit dan merapikan mejanya. "Syid, jadwal terbarunya udah gua email ke lo, ya." ujarnya sambil bebenah.

"Oke, thanks." Jawab Rasyid tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer.

"Gue jalan sekarang, boleh?"

raShitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang