dr. Dimas

213 18 8
                                    

"Bar! Mabar!"

Akbar yang baru saja selesai sarapan berjalan menghampiri saudaranya yang tengah duduk di sofa.

"Mabar mulu, kerja!" sahut Akbar tepat di telinga Dimas.

"Setengah jam lagi gue berangkat," jawab Dimas sembari mengusap telinganya.

"Gue juga bentar lagi mau ke kantor." balas Akbar.

Dimas mematikan ponselnya lalu menatap adiknya yang duduk di sebelahnya itu.

"Keren lu ya, udah jadi direktur, bangga gue sama lo," ujar Dimas membuat Akbar yang tadi serius menonton televisi lantas menatap curiga pada Dimas.

"Lo ngomong gitu bukan karena ada maunya kan?" tanya Akbar membuat Dimas berdecak.

"Kaga elah, orang dipuji bilang makasih kek, kan jarang-jarang gue muji lo," ucap Dimas sebal. Akbar hanya terkekeh menanggapinya.

"Oh iya, gimana tuh jadinya yang Gemilang Corp?" tanya Dimas selepas menyesap kopinya.

"Ya gitu," jawab Akbar singkat. Namun sedetik kemudian sesuatu terlintas di pikirannya.

Apa gue ceritain aja ya?, batin Akbar.

"Ya gitu gimana kocak," balas Dimas sebal.

"Eh lo inget Octa kan?" tanya Akbar yang kini duduk bersila menghadap Dimas.

"Lo kenapa si? Dari semalem nanyain Octa mulu? Lo naksir dia?" tanya Dimas heran.

"Ya kaga gitu bang, nanya doang gue," jawab Akbar.

"Orang kalo nanya tuh pasti ada tujuannya, tujuan lo nanyain Octa apaan?"

"Nih lo tau ga kalo sekarang dia jadi sekretarisnya bang Rasyid?" tanya Akbar tanpa menjawab pertanyaan dari Dimas.

"Tau,"

"Loh kok lo tau?" tanya Akbar kaget.

"Kan barusan lo ngasi tau," jawab Dimas yang diangguki Akbar.

"Trus kalo dia jadi sekretarisnya Rasyid kenapa? Ada hubungannya sama gue?"

"Ada, Rasyid itu direktur baru Gemilang Corp, nah Octa sekretarisnya Rasyid, mereka berdua collab sama perusahaan Zendaya, nah gue direktur Zendaya, dan lo itu abang dari direktur Zendaya yaitu gue, jadi lo ada hubungannya di sini," jelas Akbar membuat kepala Dimas pening.

"Aduh hidup lo ribet banget si," ujar Dimas.

"Oke-oke, sekarang kita serius." ucap Akbar sembari membenarkan duduknya. Sedangkan Dimas sebenarnya tak tertarik membahas ini, terlebih ini tidak penting untuknya. Namun adiknya itu kalau ngamuk kayak kingkong yang kehilangan kekasihnya, jadi lebih baik Dimas mengalah untuk tetap duduk dan mendengarkan celotehan Akbar.

"Pertemuan pertama kemaren tuh lama, dua jam-an gitu, trus mungkin si Octa ngerasa pegel gitu, dia mau ngelurusin kakinya, eh malah nendang kaki gue, karena gue baik ya, jadi pertemuannya gue selesain aja," cerita Akbar.

"Lo cuma mau pamer kalo lo nyelametin Octa yang pegel?" tanya Dimas heran dengan adik satu-satunya itu.

"Gue bukan mau pamer, gue cuma mau nyeritain tentang Octa aja, siapa tau lo kangen," jawab Akbar diakhiri dengan kedua alisnya yang bergerak naik turun.

"Ga jelas." sahut Dimas yang sudah bangkit dari duduknya. Dengan cepat Akbar menarik bagian belakang kaos Dimas.

"Apaan lagi?" tanya Dimas malas.

"Ceritain ke gue dong!" rengek Akbar yang masih menggenggam kaos Dimas.

"Ceritain apaan si?"

"Octa," jawab Akbar membuat Dimas mengernyit.

raShitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang