❍pujaan

85 55 0
                                    

sinar bagaskara menyengat pemalut seluruh insan yang berdiri di bawahnya, tiada ampun bagi mereka. sesekali mencari tujuan bersembunyi dari amukan yang sedang murka pada segenap pribumi.

begitupun dengan puan ini, mengayunkan tungkai dengan hasta menjulang tinggi dengan cetera cokelat sang empu. terik tak membuatnya berhenti pada kegiatan yang akan di segerakan.

"hai, bisa bertemu tuan Sabit?"

permulaan tutur tanpa basa basi. saat daksa yang dicari tak ditemukan, dia mengambil telepon genggam dan menulis sederet pesan disana.

to : tuan polaroid
selamat siang tuan!
puan sudah sampai tujuan, namun dirimu tak menampilkan wujud.

lantas, pesan itu terkirim dengan selamat pada pemilik nomor. hanya menunggu tiga detik dan...

ting

tuan polaroid
selamat siang juga nona!
saya berdiri tepat di belakangmu.

seperti perintah, pesan yang dibaca menimbulkan pergerakan kepala yang menoleh.

"hai," sahut taruna dengan lambaian tangan yang mengudara.

sapaan itu hanya dibalas dengan kurva manis taruni. lalu, mengambil posisi ternyaman pada sudut ruangan. seperti biasa - menyukai pojokan.

"lama menunggu?"

"ah, tidak. aku baru saja sampai."

"mau minum?"

"tak payah. aku kesini hanya ingin menanyakan kabar karena akhir-akhir ini kamu jarang memberi pesan, sibukkah?"

"tidak juga."

entah sudah berapa lama mereka merajut afeksi. namun, ahli dalam mengendalikan hubungan agar terlihat tenang tidak seperti ombak mematikan.

memang jika ditanya sabar, Sabitlah yang menang perihal obat kemarahan. batas sabarnya sangat banyak disimpan, tak jarang Anin meledak tanpa alasan tapi taruna mampu menenangkan.

"hm, aku lanjut kerja lagi ya. kamu kalau aku tinggal gak masalah?"

"tentu. utamakan saja pekerjaanmu."

setelah mendapat persetujuan, Sabit meninggalkan tempat dudukan dan berpindah pada sebuah ruangan khusus untuk pelayan cafe.

beberapa hari belakangan dia memang sangat disibukkan dengan hal itu - pelayan cafe, dan puan paham tak ingin meminta lebih atas nama perhatian. tak seperti wanita kebanyakan yang haus kasih sayang bahkan ketika pujaan sedang menata masa depan dia akan terus menuntut.

"pesan apa nona?"

bukan suara Sabit melainkan pelayan lain yang membawa nampan berisi daftar menu. Anin mengatup suara tak memberi balasan akan tutur pesanan, pelayan itu berlalu menuju meja berikutnya.

hanya alunan lagu romansa yang menemani kegiatan menanti pujaan.

denganmu tenang
tak terfikir dunia ini
karenamu tenang
semua hayal seakan kenyataan
berlari lari di taman mimpiku
imajinasi tlah menghanyutkanku
mimpiku sempurna tak seperti orang biasa

sekali dua kali taruna mencuri perhatian dengan menuang senyuman ketika dia ingin mengantar pesanan.

pelayan disini bisa dikatakan banyak, namun lebih banyak pelanggan yang datang berlalu tiada henti mengundang letih padahal belum waktunya mengeluh dan jam kerja masih panjang.

sekitar setengah jam puan menunggu dan akhirnya taruna selesai dengan tugas. langsung menyerbu kursi tanpa penghuni dekat puan.

"hufftt."

hembusan gusar penuh cucuran keringat membuat puan antusias mengambil sehelai tissue dan dengan sendiri bergelut dengan tirta letih tuan.

"capek banget ya pacar saya."

"terimakasih," sungguh Sabit tak pernah bosan dilihat dengan lengkung itu. saat letih saja dia masih terlihat rupawan, pantas puan ini mabuk kepayang.

"masih lanjut?"

"hmm, nanti sore baru selesai. kamu bosan?"

"oh, tidak. aku tunggu sampai sore juga tak apa."

waktu lenggang hanya terisi dengan aksi saling tatap-tatapan. tak ada yang ingin membuka tutur awal. tuan sibuk dengan netra nona dan sang empu sibuk menilik penyanyi di atas panggung.

"Sabit, hidung kamu berdarah."

Siram Buku Ini ; Hwang Hyunjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang