harap cemas menyelimuti relung Anin. ekspetasi sudah dirangkai dalam kepala mulai dari kecil hingga paling terburuk. katanya, tuan hanya kelelahan saja. tapi Anin tetaplah Anin, ragu dan terus melontarkan pertanyaan sama, "serius kamu gak papa?"
bahkan telinga Sabit muak mendengar. memang Anin sangat cerewet jika sempat dirinya terlihat tidak sehat.
"gak papa Anin. aku cuma butuh istirahat aja, kamu tak usah terlalu cemas. oke?"
"baiklah kalau memang begitu."
perasaannya kini sedikit lega dengan jawaban terlihat memang serius tak berbohong dan noda itu mulai pudar seiring dengan lembut tangan Anin membereskan.
"benar ya kata bunda, kamu cerewet banget kalau lagi khawatir."
segaris kebingungan melekat pada dahi Anin, tak mengerti kemana arah percakapan taruna ini. menilik dia yang memaku tanpa gerakan membantah saat puan sibuk dengan hidungnya.
"maksudnya? sejak kapan kamu kenal bunda?"
bunda dan Sabit sama sekali belum pernah bersua. akan tetapi, pengakuan taruna ini terlihat seakan-akan mereka sudah banyak memakan waktu bersama.
"sudah lama. dulu bunda rutin membeli kopi kesukaanmu disini, dengan begitu aku bisa tahu banyak tentang kamu."
Sabit berhasil membuat Anin terkejut membulatkan mata. hidungnya sudah bersih sekarang, tergesa-gesa dia menagih cerita bagaimana Sabit bisa kenal bunda.
"terus bunda ngomong apa aja sama kamu?"
"kata bunda, kamu itu cengeng hmm...
"terus terus."
yang benar saja, bunda membicarakan putri kesayangan dengan orang lain. mirisnya semua perkataan bunda sedikit menjatuhkan harga diriku sebagai pacar.
"lalu kata bunda kamu itu dulu laki banget. kemana-mana pakai celana, kalau bunda beliin kamu rok pasti disembunyikan trus bilang gak nampak. hahaha, lucu banget tahu waktu itu dengar cerita bunda."
nah kan betul dugaanku. bukan bunda namanya kalau tidak menjelek-jelekkan aku di depan umum.
"ya ampun, bunda buat aku malu huwa."
seakan baru saja bertindak memalukan, Anin merosotkan bahu yang tadinya tegap bersandar pada kursi. telapak tangan siap menjadi persembunyian roman muka yang memerah menahan malu.
taruna tertawa dengan nada menjengkelkan seakan tak ingin berhenti menghina topik pembicaraan tempo lalu bersama bunda.
"dan aku jatuh cinta dengan gadis yang katanya takut ke kamar mandi jika malam tiba."
jika punya kekuatan menghilang, Anin sudah melakukannya daritadi. sungguh Sabit ini sangat puas menertawakan puan, melupakan sekeliling yang menatap mereka risih dengan suara tawa Sabit terbilang cukup kuat mengisi seluruh gema ruangan.
"Sabit, diam ih." meneriaki asma taruna dengan nada manja seakan meminta berhenti dengan aksi itu. tungkai Anin sudah terhentak-hentak begitupun dengan ranum manyun menggemaskan andalan Anin.
paham betul jika kekasihnya sudah dilanda amarah membuat Sabit menghentikan tawa dan menuang atensi pada puan yang sudah membuang muka asal.
"iya deh, aku berhenti nih ketawa."
memperagakan mulut yang tertutup seperti ritsleting rapat. dia mengatup suara menunggu Anin kembali memulai tutur.
"kamu buat badmood aja deh. Anin gak suka."
ya ampun, gemes banget tolong. pipinya pengen aku cubit.
Sabit masih diam dan akan bersuara jika memang dia rasa amarah nona sudah padam.
"berarti kamu itu sudah lama dong tahu nama aku."
hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Sabit.
"trus kamu juga sebenarnya udah sering jumpa sama aku kan? tapi kok aku gak pernah lihat kamu ya."
Sabit masih membalas dengan peragaan mengangkat bahu acuh.
"lalu kenapa waktu itu kamu masih nanya nama aku?"
lagi, dia masih menjawab dengan isyarat tubuh.
"Sabit... kalau Anin nanya itu dijawab dong. bukan geleng atau angguk kepala aja."
suara Anin kini sudah meledak seakan ingin menelan Sabit hidup-hidup.
ya lord, cewek kalau udah marah ngeri-ngeri sedap ya. siap-siap jadi santapan ya Sabit.
"kenapa sih sayang? tadi kamu suruh aku diam."
"itu tadi. sekarang aku lagi nanya jadi kamu jawab dong. tahu ah kesel aku."
serba salah saya, gini amat punya pacar.