sebelas bulan kemudian.
rajutan asmara antara Sabit dan juga Anindya masih terbilang baik tanpa ada tanda bahtera akan pecah. baik tuan maupun puan sanggup mencari ujung solusi walau sulutan emosi tak lupa menghampiri.
kadangkala, ada waktu ketika Sabit pasrah menanggapi amarah kekasih tapi semesta masih meminta mereka tetap bermain rasa. pihak taruna semakin dewasa perihal obat ambigu perilaku dan taruni tidak lagi merubah suasana hati tanpa alasan.
memang, hubungan bukan tidak mungkin bisa berhenti di tengah jalan karena hal kecil seperti kedua pasangan yang labil ego. namun, begitulah cinta. kapan saja bisa pukah dan kapan saja bisa semakin merkah.
Sabit yang mana selalu memahat bahtera mendekati titik keseriusan dan puan tentu senang hati jikalau memang taruna sebagai pelabuhan pertama dan terakhir. sebelumnya Anin adalah wanita buta akan cinta akan tetapi, ketika Sabit datang menawarkan afeksi pasti disambut baik oleh puan pemilik hati.
Anin bak candu baginya, sering kali penenang letih ialah ketika melihat kurva manis nona ontel pemilik sekeping hati. terserah apa kata pembaca, tapi tak bisa dipungkiri jika semakin hari cinta tuan polaroid semakin erat takut melepas pujaan.
tak ada taruni semanis Anindya nona ontel. baginya, Anin bukan hanya menjadi belahan jiwa namun masa depan yang Tuhan janjikan. maka dari itu, Sabit dengan seluruh keyakinan dengan giat menjalani hidup sebagai pelayan cafe. sebagai persiapan kalau nanti hubungan ini akan pencipta bawa ke altar sucinya. bohong jika Sabit berkata dia tidak ada niat menjadikan nona ontel sebagai pendamping di hari tua.
"memang harus banget pindah ke Jepang?" masih ragu pada tindakan yang akan diambil tuan polaroid. tentu itu adalah pemicu dari ketakutan berpisah dari isi kepala Anin. jika hanya berjarak waktu tidak bersua dengan Sabit, dia masih mampu. akan tetapi, berjarak zona? entah hal gila apa yang sedang menimpanya.
"iya, sayang. lagian kawan aku punya pekerjaan lebih menjanjikan daripada jadi pelayan cafe terus."
"ta-tapi... aku gak bisa jauh-jauh dari kamu Sabit. kalau nanti malah ada wanita baru yang mengisi hatimu bagaimana?" Anin tak malu melontarkan perkataan, biar saja jikalau terkesan lebay atau apapun itu. memang kenyataannya begitu, Anin takut kehilangan Sabit. tidak lagi, hanya bunda orang terakhir yang boleh pergi meninggalkan tapi tidak untuk kekasihnya ini.
"Anin, kamu ingat apa impian aku yang pernah terucap lewat doa bersama kita?"
"hubungan ini akan sampai di altar Tuhan."
"benar. terus kenapa kamu harus takut? kalau alasan dari kepergianku adalah untuk serius dengan kamu."
"aku percaya kamu serius dengan aku tapi... tidak dengan puan baru yang nanti akan menggantikan aku sebagai pemilik hatimu." wajar bukan perkataan dari nona ontel tersebut? sejatinya, dia bukan saja takut kehilangan kekasih melainkan takut kehilangan bahagia. selama ini, hanya Sabit yang mampu melukis senyum abadi dari ranumnya. bahkan setelah bunda pamit ke nirwana, dia memberi banyak pelajaran akan berlatih rindu teruntuk masyarakat surga.
mereka masih duduk diam di rooftop gedung tua yang dulunya adalah tempat dimana mereka resmi jadi sepasang kekasih. helai-helai surai Anin mulai menyusuri wajah tanpa izin, memberi ketidaknyamanan bagi pemiliknya. Sabit dengan lembut menyisipkan tepat belakang daun telinga. telapak tangan tadi tak terisi kini sigap ditumpuk hangat pelukan sepasang hasta lain.
"sini lihat aku," pinta Sabit seraya mengajak nona memindahkan atensi tepat pada wajah rupawannya.
"mana ada gadis lain yang sanggup jadi pengganti dan mencuri hati."
"sekarang aja bilangnya gak ada, ntar beberapa bulan udah hilang aja gak ada kabar." Anin bersungut-sungut.
memang hal paling buruk di dunia adalah mendapat kejutan dari pencipta, seperti sekarang. entah angin apa tiba-tiba pacarnya mengatakan ingin mengadu nasib ke negeri sakura itu. tanpa ada pembahasan lebih dulu dengannya, tapi jika dipikir apa hak Anin membantah rencana Sabit? dia hanya seorang pacar, tegaskan sekali lagi hanya pacar bukan istri kan? jadi boleh dibilang Anin tak boleh terlalu mencampuri urusan sang kekasih.
sedangkan di sebelah, Sabit paham betul kalau pacarnya sedang pada mode mutung, kesel dan masih banyak lagi emosi yang tergambarkan di raut wajahnya. dia membiarkan nona ontel mencerna matang-matang perkataannya barusan, mungkin saja ini hanya masalah waktu.
"ada jaminan kamu gak bakal mendua hati?" kini mulai berani menerima-sepertinya atau mungkin hanya ingin meletakkan tuan polaroid pada posisi yang pasti dia juga tidak bisa jamin jawabannya. ingatkan Sabit jikalau dia pernah berkata bahwa manusia hanya akan tetap jadi manusia saat janji yang terlontar masih jadi utang. sekarang apa jawaban yang cocok untuk pertanyaan retoris Anin? dia yakin pacarnya sudah tahu jawaban tidak akan tersuarakan akan tetap masih saja menunggu.
"Sabit, ada penjamin gak?" benar kan, dia terus menunggu hingga mulut melontarkan kalimat iya. bukannya menjawab, Sabit malah memindahkan atensi pada segerombolan bintang menggelantung indah bersama rembulan dengan bentuk serupa asma.