pipa yang memanjang menjadi tempat rehat sejenak ketika tungkai mereka lelah berkelana menghirup aroma.
"kalau jam segini aku baru pulang pasti bunda nunggu depan pintu sambil jewer telingaku."
akhirnya puan berani memulai tutur walau masih riuh bunyi lintas berlari tak karuan lekat dengan sambut menyambut lonceng memaksa hendak mendahului namun merah tak jua berganti hijau.
"huffftt, jadi rindu."
mengeluarkan pasoka udara yang terkumpul dalam rongga dada seraya bahu merosot melayu menghentikan kata.
mengulang kaset memori yang terputar satu warsa lalu dengan menaruh perhatian pada gulungan peristiwa terjalani begitu komplet ketika meja makan diisi hamburan tawa begitupun rezeki di depan mata.
"setidaknya kamu pernah merasa belaian cinta dari orangtua. tidak seperti saya yang dibuang sejak hadir ke dunia seakan benjana."
"maaf, gak bermaksud menghadirkan luka."
"tak masalah nona."
sejenak dijeda kesatuan ujar lantas menuang atensi pada dirgantara hitam berhias putih simbol bintang dan puan yang juga sibuk menengadah.
"sampai sekarang aku masih belajar berlatih rindu," Anin membuka pintu suara lagi.
"lantas bagaimana denganku? apa yang harus ku latih? berlatih bagaimana caranya hidup tanpa sayap? berlatih bagaimana caranya tak merutuki takdir?"
tuan mengalihkan atensi pada puan yang ada disebelahnya.
"Anin, mau saya ajarkan caranya bersyukur? sekaligus kamu mahir berlatih rindu."
tawar tuan masih jua menilik setiap ruang rupa hasil lukis maha kuasa.
"boleh,"
"mari, saya ajak ke suatu tempat."
tangan Sabit terulur menunggu disambut pihak lain dengan lembut pemalut.
lantas mereka kembali berkelana pada destinasi selanjutnya yang hanya tuan saja tahu tempat tujuan.
sekitar sepuluh menit lamanya mereka berjalan dengan alas sepatu menjadi rumah bagi jari-jari mungil di ujung tungkai.
"halo semuanya,"
"kak Sabit."
disini ternyata dia membawa puan, pinggir jalan tempat anak-anak menjadikan itu rumah berfigur kertas yang jika tertiup semilir akan terbawa arus.
"apa kabar?"
sungguh, Sabit memanjakan ananda dengan kurva manis seraya membelai surai gadis kecil yang langsung menyerbu dengan dekapan.
gadis ini begitu keji pada noda pakaian yang beberapa bagian hilang entah kemana. wajahnya pun ikut cemar berlukis warna cokelat jua dengan tampilan surai tak lagi menjuntai tanpa gelombang.
"kak Sabit kemarin kenapa gak kesini?"
"iya, kak Sabit udah jarang banget kesini."
"padahal kami udah nunggu loh."
"kangen diajari kak Sabit."
begitulah gaduh sorak komentar beberapa ananda berceloteh yang katanya merindukan tuan berasma Sabit ini.
"eh, teman-teman. kak Sabit bawa bidadari nih,"
sadar akan hadir puan yang sejak tadi hanya mengatup pintu suara melihat interaksi tuan terlihat bahagia membuat ikut larut dalam suasana.
"hai, kakak cantik. namanya siapa?"
"kakak pacarnya kak Sabit ya?"
"hai kak, aku bulan."