setenguk air menghilangkan kering dalam tenggorokan puan.
"berlarut dalam kesedihan itu tidak baik."
tuan membuka tutur mencoba menghibur dengan harap puan segera melukis lengkung karena dia tak sampai hati menonton Anin tumpah air mata.
"nona, semua insan akan kembali ke pangkuan pencipta. kita hanya bisa menunggu suratan takdir kematian yang akan dijemput malaikat maut."
masih tekun mencoba sebagai obat pelipur lara, namun puan seperti tak punya telinga menangkap celotehnya.
"baiklah, kalau kamu masih menangis terus. aku juga akan ikut menangis supaya kamu ada teman," si tuan dengan lagak bodohnya mengikuti gerak tubuh nona jua suara sendu yang terlihat palsu.
"hu hu hu hu. hei, nabastala bagaimana mengusir nelangsa yang betah bermain dengan nona di sampingku ini. dia terus saja menangis, aku gak tahu gimana cara menghibur."
"hu hu hu hu. hei, gemintang tolong aku dong. nona tetap gak mau senyum padahal aku sudah berusaha agar lengkung manisnya terlukis."
"hu hu hu hu. hei, dewi malam bisa jatuhkan sesuap bahagia ke bawah sini?"
Sabit melirik puan yang sudah berhenti menangis dan terganti dengan lengkung sebisa mungkin disembunyikan Anin. merasa usaha belum berhasil sepenuhnya, tuan melanjutkan tingkah konyol itu sampai puan tak gentar menyuarakan tawa.
"hu hu hu hu. hei, angin. teruslah mendayu hingga suara tangis nona ini tertelan karena kalau dia menangis aku akan mendengar suara cemprengnya itu. kasihan telinga aku jadinya,"
selesai sudah, Anin tertawa ketika tuan dengan sengaja menyindir suara tangisnya.
"memang iya suaraku jelek banget kalau nangis?" tanya puan seraya menyeka air mata lalu mendadak menilik netra tuan yang bolanya langsung membulat sempurna menerima perlakuan Anin. proses menatap itu cukup berlangsung lama, sampai tuan menahan hembusan napas tak kuasa menetralkan degup saling terpaju.
"h-mm, iya. sedikit mengganggu nona," serunya gugup dan mencoba menciptakan jarak yang tadi rapat menjadi renggang karena tuan berpindah letak sepuluh sentimeter.
"serius?" Anin bertanya lagi seakan jawaban tuan tak memuaskan.
jarak renggang itu terulang rapat saat puan kembali mendekat kemudian menatap dengan sungguh hingga jantung Sabit memasuki zona bahaya.
Tuhan, jantung aku mau copot. nona jangan menatap seperti itu, kalau aku tambah jatuh hati bagaimana?
Sabit bercakap dalam hati mencoba bertingkah normal tapi tak kuasa menilik corak rupa nona yang begitu molek.